Vaksin pernah menjadi penyelamat manusia dari berbagai macam jenis wabah penyakit seperti Campak, Polio, Difteri, Rubella, Varicella, dan masih banyak lagi. Namun, walau terbukti klinis dan ampuh, masih ada sebagian masyarakat yang enggan melakukan imunisasi karena beberapa kepercayaan.
"Yang pasti jika masih ada masyarakat yang khawatir bahwa vaksin ini seolah memasukkan penyakit ke dalam tubuh, itu artinya kurang informasi ya," ucap Juru Bicara #SatgasCovid19 Reisa Broto Asmoro, Kamis (15/10).
Menurut dokter spesialis anak dari Yayasan Orangtua Peduli, Windhi Kresnawati, beberapa mitos muncul dalam perbincangan sosial. Hasilnya, terjadi penurunan angka vaksinasi memicu kenaikan penyakit spesifik yang dilawan vaksin tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut sejumlah kabar negatif soal vaksin dan pemaparan faktanya:
Fakta:
Penelitian vaksin sebagai penyebab autisme dilakukan oleh Andrew Wakefield pada tahun 1998 dan dinyatakan tidak valid. Ia terbukti melakukan kecurangan penelitian yang mengakibatkan penelitian tersebut dicabut. General Medical Council tidak memperbolehkan Andrew untuk berpraktik lagi di Inggris sejak tahun 2010.
Fakta:
Thimerosal merupakan suatu jenis ethylmercury berguna sebagai pengawet vaksin. Kadar yang dipakai dalam vaksin sangat sedikit dan tidak beresiko buruk bagi kesehatan. Untuk memastikan hal tersebut, pemerintah melakukan pengawasan dan evaluasi ketat pada vaksin sebelum diedarkan.
Fakta:
Vaksin hanya berisi kuman tidak aktif yang dilemahkan atau partikelnya dan bahan media pembawa serta pengaman kumannya saja. Selain itu, tidak ada bukti microchip yang dapat masuk melalui jarum suntik.
Fakta:
Sejak bayi baru dilahirkan, seseorang sudah bisa menerima vaksinasi atau imunisasi sebagai langkah untuk mencegah penularan penyakit. Berdasarkan data dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), imunisasi mampu mencegah 2-3 juta kematian anak setiap tahunnya. Vaksinasi dapat menghindari hal-hal buruk seperti komplikasi penyakit kecacatan bahkan kematian.
Fakta:
Windhi menjelaskan bahwa hal tersebut tidak terjadi di masa sekarang. Hal tersebut pernah terjadi pada tahun 1960-an di mana vaksin dikembangbiakkan menggunakan media sel hidup. Hal tersebut pernah dilakukan pada vaksin MMR.
"Jadi, kalau ada yang bilang ada sel janin yang digunakan, itu terjadi pada tahun 1960-an, di mana sel hidup digunakan secara legal untuk membuat vaksin dan itu sekali saja proses yang terjadi. Lantas apakah dalam vaksin ada sel janin? Jawabannya, hanya ada hasil produknya, yakni berupa virusnya saja," ujar Windhi.