Pandemi Covid-19 menambah beban perjuangan Nining Ivana. Perempuan berusia 36 tahun ini mesti berjuang ekstra untuk dapat bertahan hidup dengan HIV dan gangguan bipolar yang dialaminya di masa pandemi Covid-19.
Nining sudah 15 tahun hidup dengan HIV. Kondisi tubuhnya boleh dibilang dalam keadaan yang baik berkat obat antiretroviral (ARV) yang rutin dikonsumsinya setiap hari sejak 2005 lalu.
Meski fisik membaik, empat tahun terakhir kondisi kesehatan mental Nining memburuk. Dia diagnosis mengalami gangguan bipolar. Kondisi ini semakin parah saat pandemi datang awal tahun ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menjadi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) aja stresnya sudah tinggi, apalagi dengan mental disorder, dan pandemi," kata Nining saat bercerita kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Nining mengaku kerap dihantui rasa panik dan ketakutan hebat. Serangan panik dan ketakutan tiba-tiba itu merupakan salah satu gejala bipolar. Gangguan bipolar adalah gangguan mental yang ditandai dengan gejala-gejala berupa perubahan emosi yang drastis secara tiba-tiba.
"Sakitnya memang tidak kelihatan dari luar. Tapi, saya merasakan ketidaknyamanan setiap detik. Keluar rumah enggak berani, liat kerumunan takut. Bisa hilang fokus dan sesak napas," ungkap Nining.
Tak jarang, Nining merasa dia juga mengidap Covid-19 karena mengalami sesak napas, gejala yang juga dialami orang yang terinfeksi virus corona.
"Pernah saya merasa Covid-19, tapi justru enggak berani darang ke RS. Kalau bukan, bisa jadi saya tertular. Sebisa mungkin saya obati sendiri," tutur Nining.
Apalagi saat awal pandemi. Nining mengaku kesulitan untuk bisa mengakses rumah sakit ke Poli HIV dan juga berkonsultasi dengan psikiater. Konsultasi dengan dokter dan psikiater pun ditiadakan. Nining hanya melanjutkan konsumsi obat-obatan yang sudah diresepkan sebelumnya.
Alhasil, setiap kali episode panik dan sesak napasnya kambuh, Nining mencoba untuk menenangkan diri dan meyakinkan bahwa dia tak terinfeksi Covid-19. Selain dengan obat-obatan, Nining juga selalu melatih diri untuk mengatasi gejalanya. Salah satunya adalah dengan mencari tahu pemicu gangguan paniknya. Dengan mengatasi pemicu, gejala pun akan hilang.
Lihat juga:Kenali Beda Psikolog dan Psikiater |
Baru setelah PSBB dilonggarkan, Nining pun membiasakan diri dengan kehidupan new normal. Konsultasi dengan dokter dan psikiater pun beralih secara online.
"Dari segi waktu bermanfaat karena tidak perlu antre. Tapi, kekurangannya tidak bisa bonding dengan psikiater, padahal itu sangat dibutuhkan, belum lagi koneksi kadang suka enggak bagus," ucap Nining.
Seiring berjalannya waktu, episode gejala bipolar Nining berkurang signifikan. Nining kita mulai membiasakan dirinya dengan keadaan new normal sambil menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Nining terus berjuang dan berusaha tetap kuat. Meski berat, Nining tak pernah berputus asa.
"Saya masih ingin tetap hidup, bisa melakukan banyak hal baik buat diri saya dan juga orang lain," ucap Nining.
Bagi Nining, membantu orang lain merupakan sumber kekuatan dan semangat. Menurut Nining, ada banyak orang lain yang memiliki beban hidup yang jauh lebih berat dibandingkan dirinya.
![]() Ilustrasi bipolar |
"Ada perempuan-perempuan lain yang lebih susah dibandingkan saya. Mereka membutuhkan pertolongan," kata Nining.
Nining yang aktif sebagai Koordinator Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) DKI Jakarta pun menginisiasi program bantuan melalui platform online yang disalurkan pada lebih 250 perempuan dengan HIV yang terdampak Covid-19.
"Dengan gerakan ini, saya ingin perempuan saling membantu satu sama lain. Saya juga ingin semua ODHA baik perempuan, laki-laki, dan anak-anak tetap bisa produktif di masa pandemi," ucap Nining.
(ptj/chs)