Penyanyi Nadin Amizah mencuri perhatian netizen. Kali ini bukan karena karya musiknya tetapi cuitannya di akun Twitter pribadinya, @rahasiabulan.
"Your girlfriend. Your mentally unstable girlfriend (Kekasihmu. Kekasihmu yang mentalnya tidak stabil)," tulisnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cuitan ini pun disertai unggahan empat foto dirinya dalam berbagai pose dan ekspresi. Tak pelak ini pun menuai komentar netizen. Yang menarik, ada yang menanggapi unggahan sebagai cara Nadin menghadapi situasi kesehatan mentalnya. Sedangkan yang lain mencibir dengan menganggap pelantun 'Bertaut' ini meromantisasi kondisi kesehatan mentalnya.
Melihat fenomena ini, psikolog Mira Amir berkata bicara menyoal manusia memang tidak ada habisnya. Perlu diingat, kondisi kesehatan mental juga bagian dari menjadi manusia (part of human being).
"Ketika dia (Nadin) menyinggung tentang 'mentally unstable girlfriend', ini 'chapter' lain tentang manusia. Manusia itu bisa stabil, bisa enggak stabil (secara mental)," kata Mira saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Rabu (2/12).
Meski tidak diejawantahkan dalam bentuk kata-kata, kondisi mental yang tidak stabil tanpa sadar ditemui di unggahan-unggahan media sosial. Mira memberikan contoh, ada yang menangisi pengalaman patah hati dengan menuliskan 'I'm nothing without you. Ini juga kondisi mental yang sedang tidak stabil meski orang melihatnya sebagai unggahan biasa.
Ada beragam cara untuk menghadapi kondisi mental yang tidak sedang stabil. Ada yang menuangkannya lewat lukisan, karya lagu, puisi atau sekadar menuliskannya di media sosial. Mira berkata, aktivitas menulis memang jadi sarana untuk mengeluarkan apa yang ada dalam pikiran, apa yang dirasakan.
"Bentuk terapi (untuk membantu mengatasi masalah kesehatan mental) kan juga ada yang menulis diary. Ketika yang ada dalam benak kita, di pikiran kita jadi penuh, sibuk overthinking, lalu dituangkan. Ternyata yang dipikirkan, yang di-overthinking-kan itu A, B, C, D, dan E," ujarnya.
Biasanya, lanjut Mira, mereka yang berani mengungkapkan masalah kesehatan mentalnya, mereka memang fokus pada proses, fokus pada apa yang mereka lakukan. Ini terjadi pada pekerja seni yang menuangkan masalah mental, mental tidak stabil, atau segala pergumulannya lewat karya.
"Mereka merasa perlu sharing tentang ini, jadi ya akan fokus di situ. Dia tidak akan terganggu dengan komentar. Orang melihat itu romantisasi tapi dia profesional di bidangnya, misal penyanyi, dia tidak melihat market tapi fokus sama karya musiknya," imbuhnya.
Lihat juga:Bebas Stres dengan 1 Menit Yoga Tertawa |
Sementara itu menuliskan masalah kesehatan mental di media sosial jadi persoalan berbeda. Ruang lingkup 'pendengarnya' akan sangat luas dan beragam. Sebelum Anda ingin curhat, Mira berkata musti ada kesiapan.
"Kalau buat klien, saya mengatakan kalau suasana hati tidak nyaman, sebaiknya hindari dulu bermedia sosial," katanya.
Sebaliknya, jika Anda di posisi sebagai netizen, memberikan dukungan sah-sah saja. Apalagi saat curhatan datang dari orang yang Anda kenal semisal teman atau saudara. Namun Mira mengingatkan beberapa hal.
1. Biarkan, tidak ada yang salah dengan curhat di media sosial. Anda cukup membiarkan dan memberikan ruang untuk orang bercerita.
2. Dukungan singkat, tak jarang unggahan dari teman atau saudara memancing Anda untuk merespons. Cukup berikan dukungan singkat semisal meyakinkan mereka bahwa Anda ada untuk mereka.
3. 'Sedekah jempol, Mira memberikan istilah ini mengingat psikologis pengguna media sosial. Aktivitas mengunggah sesuatu di media sosial menggambarkan kebutuhan untuk diperhatikan. 'Sedekah jempol' atau 'Like' bisa Anda berikan. Si pengunggah pun akan merasa didengar dan dilihat.
![]() Ilustrasi depresi |
"Saat mengunggah sesuatu dan tidak direspons, ada rasa coldness, kok unggah ini enggak direspons? Banyak yang lihat tapi kok enggak direspons?" imbuhnya.
4. Sesuai kapasitas, tidak jarang dari respons Anda, muncul curhat dan tidak singkat. Perlu diingat, Anda bukan tenaga profesional bidang kesehatan jiwa. Tidak semua cerita bisa Anda tangani bahkan tidak ada keharusan untuk mengatasi masalahnya.
"Kecenderungan manusia itu bertanggung jawab, kita ada tanggung jawab bikin orang lain sembuh. Padahal tidak sama sekali. Kesehatan mental seseorang jadi tanggung jawab diri sendiri," kata Mira.
5. 'Jaga jarak,' ini tidak serta merta menjauhi. Mira mengatakan saat kondisi tidak memungkinkan untuk menampung cerita, ada baiknya menjaga jarak dan membatasi.
Bagi beberapa orang, menangis terkadang dianggap ampuh untuk menghilangkan perasaan kesal, sedih, kecewa, bahkan depresi. Namun, bagi sebagian orang, menangis dianggap sebagai aib.
'Menangis itu tandanya lemah,' 'menangis itu cengeng,' atau 'lelaki tak boleh menangis,' mungkin itu ungkapan yang kerap Anda dengar. Namun benarkah?
"Menangis itu salah satu metode penyembuhan. Tidak harus selalu karena sedih tapi juga bahagia," kata praktisi mindfulness dan yoga, Eka Sukma Putra saat Setroom CNNIndonesia.com Sunyi di Tengah Pandemi, beberapa waktu lalu.
"Menangis itu bagian dari pelepasan emosi dan itu bagus. Jangan cuma menghakimi orang saat dia nangis, jangan doktrin mereka, tapi bantu mereka dengan mendengarkan."
Eka menambahkan bahwa, marah, sedih, menangis itu hal yang manusia. Semua orang punya cara yang berbeda untuk mengatasi keadaan batinnya atas semua masalah yang dihadapinya. Namun, tak perlu berlarut dan segera berusaha untuk menemukan solusinya.
Dokter kesehatan jiwa sekaligus psikiater dan pakar psikosomatik, Andri setuju bahwa beragam emosi tersebut adalah hal yang wajar di alami, terutama di masa pandemi seperti saat ini.
"Kangen, marah, sedih, depresi, itu adalah proses dalam hidup. Bukan tidak boleh punya perasaan itu tapi pahami alasannya, alasan mengapa Anda jadi seperti itu. Apa sebabnya," ungkapnya dalam kesempatan yang sama.
"Melalui perasaan tersebut, coba menyelami hidup, jadi perasaan tersebut bisa membantu Anda menjalani hidup yang lebih baik."
(els/chs)