Pandemi Covid-19 membuat posisi perempuan semakin terpuruk. Selama pandemi, kekerasan terhadap perempuan meningkat. Belum lagi, beban yang harus dipikul perempuan bertambah.
Data terbaru dari UN Women menunjukkan pandemi Covid-19 memperburuk ketimpangan gender yang sudah ada sehingga posisi perempuan menjadi semakin rentan.
"Sebagai gambaran, banyaknya korban jiwa laki-laki karena Covid-19 meningkatkan jumlah perempuan sebagai kepala keluarga baru. Timbulnya kebijakan untuk belajar dan bekerja dari rumah juga berpotensi menambah beban ganda perempuan," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga dalam perayaan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Rabu (12/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data dari Komnas Perempuan menunjukkan perempuan mengalami peningkatan beban kerja dua kali lipat dalam pekerjaan rumah tangga dibandingkan laki-laki. Sebanyak 57 persen perempuan juga mengalami peningkatan stres dan kecemasan dibandingkan 48 persen laki-laki.
Selain itu, himpitan ekonomi dan beban mental yang berat membuat perempuan menjadi sasaran kekerasan. Data terbaru Simfoni PPPA sejak pandemi berlangsung di Indonesia dari 29 Februari-27 November 2020, kekerasan terhadap perempuan mencapai 4.477 kasus dengan 4.520 korban.
Mayoritas korban kekerasan terhadap perempuan atau 59,8 persen adalah korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sedangkan, jumlah kekerasan terhadap anak perempuan mencapai 4.472 korban.
Jumlah tersebut lebih banyak ketimbang anak laki-laki sebanyak 1.778 korban. Dari total 6.250 anak korban kekerasan, 20,9 persen adalah korban KDRT.
Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi perempuan selama pandemi Covid-19, Kementerian PPPA dan United Nations Gender Working Group (UNGWG) meluncurkan Panduan Perlindungan Hak Perempuan dari Diskriminasi dan Kekerasan Berbasis Gender selama Situasi Pandemi.
"Panduan ini dapat menjadi acuan komprehensif dalam melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender," kata Juru Bicara Kementerian PPPA Ratna Susianawati saat memaparkan panduan tersebut.
Ratna lanjut menjelaskan bahwa panduan ini fokus pada pencegahan dan penanganan perempuan dari stigma dan diskriminasi; pemenuhan hak penyintas kekerasan dalam situasi krisis pandemi; pencegahan atau mengurangi keterpisahan perempuan dengan anak atau pengasuhnya; pendokumentasian, rujukan, dan pemantauan kasus-kasus terkait diskriminasi dan kekerasan pada perempuan.
Panduan berkesinambungan ini berlaku hingga masa transisi ketika situasi krisis atau pandemi berakhir.
Panduan ini dapat diterapkan bagi kementerian atau lembaga, pemerintah daerah, organisasi serta penyelenggara program dan layanan. Diharapkan panduan ini dapat mencegah dan menurunkan kasus kekerasan pada perempuan.
"Kami mendukung Indonesia bahwa semua pihak baik pemerintah, organisasi, swasta, dan media harus bekerja sama untuk mencegah kekerasan pada perempuan," kata UN Resident Coordinator Valerie Julliand.
Peluncuran panduan ini merupakan bagian dari kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan yang dimulai pada 25 November hingga 10 Desember.
(ptj/agn)