Rengekan tangis di wajah Kai, bayi berusia 4 bulan, membuat sang ibu, Astrid, bergeming. Dia diam, seolah tubuhnya kaku dan tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Capek, enggak tahu harus ngapain," kata Astrid, saat bercerita soal pengalaman burnout-nya selama pandemi, pada CNNIndonesia.com, Senin (21/12).
Pandemi memang rentan memicu parental burnout pada ibu. Situasi serba tak pasti yang memicu stres ditambah kesibukan harian sebagai ibu rumah tangga yang harus mengurus anak tentu bukan perkara mudah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Astrid, misalnya, yang menganggap stres seolah jadi makanan sehari-hari di tengah aneka perubahan ini. Astrid merasa jadi lebih sensitif, bad mood, sehingga hari terasa kacau.
Kai adalah anak kedua, setelah sebelumnya Astrid sempat kehilangan anak pertamanya, Kin. Menjadi ibu jelas mengubah hidup Astrid, apalagi di tengah situasi serba tak pasti seperti sekarang.
Berbagai kondisi membuat Astrid kacau balau. Misalnya, sikap orang tua dan mertua yang berubah terhadapnya, yang juga bikin stres minta ampun.
"Mama saya berubah. Dia bisa heboh setengah mati pas Kai ada bekas gigitan nyamuk. Saya dimarahi. Kok, saya dimarahi untuk sesuatu yang saya enggak punya kuasa menahan," kata Astrid.
Belum lagi omelan mertua yang tak setuju dengan pilihan Astrid untuk memompa ASI. "Dia mengira saya enggak mau menyusui langsung. Padahal, pompa itu, ya, sakit, menantang, sulit," kata dia.
Di balik omelan-omelan yang bikin kepala pusing itu, sesungguhnya Astrid adalah seorang ibu yang benar-benar khawatir akan situasi pandemi ini. Dia khawatir akan keselamatan anak dan suami. Apalagi suami tetap bekerja di kantor.
Kondisi suami yang tetap bekerja di kantor jelas bikin Astrid khawatir. Apalagi di sana sempat ada kasus positif yang terlacak.
"Di kondisi seperti ini, kan, kita enggak tahu mana yang aman atau tidak. Saya jelas memikirkan keselamatan dan kesehatan anak serta keluarga," kata Astrid.
![]() |
Apalagi, bagi Astrid, mendapatkan Kai bukan perkara mudah. "Takut kalau kehilangan lagi seperti sebelumnya," kata dia.
Berbagai kekacauan yang terjadi, ditambah dengan pandemi, membuat Astrid merasa lelah. Tak main-main, stres bahkan sampai bikin produksi air susu ibu (ASI) tidak lancar.
Parental burnout sendiri merupakan kondisi mental yang lebih dari sekadar stres. Jika tak ditangani, burnout bisa berubah menjadi depresi.
Pada sosok ibu, parental burnout umumnya membuat koneksi antara ibu dan anak jadi hilang atau ibu merasa jadi sedikit tidak peduli pada si buah hati. "Dia [Kai] nangis, teriak, saya biarkan. Bodo amat, capek. Saya tinggal tidur," aku Astrid.
Namun, Astrid mengaku tak kesal pada si buah hati. Alih-alih kesal, Astrid merasa geregetan.
"Lebih kayak, 'kamu, tuh, mau apa? ganti pampers, minum susu, main, nyusu, semua udah. apa lagi?'," curhat Astrid.
Rasa-rasanya, Astrid ingin bicara pada Kai bahwa dirinya butuh istirahat dan menenangkan diri. "Tapi, kan, enggak bisa," kata dia.
"Soalnya, anak rewel tiap hari minimal sekali ada. Tiap hari berulang sampai jenuh."
Beruntung ada suami yang penuh pengertian. Suami, kata Astrid, sigap bertindak saat tahu istrinya nyaris meledak. Beberapa kali Astrid diajak untuk melakukan pijat laktasi. Sang suami juga kerap turun tangan mengajak Kai bermain saat melihat Astrid kelelahan.
"Saya juga mengakui, kalau sedang susah, saya kewalahan, saya tidak bisa mikir jernih, kemudian saya minta tolong suami, minta tolong papa saya," kata Astrid.
Astrid sadar bahwa stres dan tekanan tak hilang secara instan. Dia meyakinkan diri bahwa segala fase memiliki akhir atau batas waktu.
"Ya, fase ini akan berlalu. Bukannya enggak ada akhir," kata Astrid.
Kini, Astrid bisa menanggapi segalanya dengan lebih santai dan tenang. Saat Kai rewel dan menangis, Astrid memilih untuk menarik napas sejenak baru menghampiri sang buah hati.
Astrid sadar bahwa menangis adalah cara anak berkomunikasi. Tapi, agar Astrid tidak meledak, dia memilih tenang dulu.
"Biar enggak meledak, ya, mama minum dulu, makan dulu, tenangin diri dulu," katanya disusul tawa.
(els/asr)