Hari Ibu dirayakan setiap tanggal 22 Desember tiap tahunnya. Di tahun ini, semua orang diingatkan kembali bahwa seorang ibu adalah superhero dalam keluarganya. Meski demikian, ibu tetaplah manusia yang juga bisa mengalami kelelahan dan burnout.
Zhafira Loebis merasakan betul jungkir baliknya menjadi seorang ibu di tahun 2020. Pandemi membuatnya harus berbagi peran sebagai ibu, pekerja, guru, dan istri di waktu dan tempat yang sama.
"Awal-awal, semua ingin berjalan sempurna. Saya ingin jadi guru yang baik buat anak-anak. Lalu saat fokus ke situ, kerjaan keteteran. Saat fokus kerja, rumah yang keteteran. Sempat burnout, ingin semua berjalan seolah kondisi normal," ujar Zhafira, saat webinar beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum pandemi, Zhafira merasa fokus serta energi bisa dibagi sesuai waktu dan tempatnya, tapi tidak dengan kini. Bahkan dia sempat merasa aktivitas bersama anak hanya dirasa sebagai tugas tanpa ikatan berarti.
Dalam dunia psikologi, apa yang dialami Zhafira disebut dengan istilah parental burnout. Sebagaimana diketahui, tahun 2020 memberikan banyak tantangan untuk para ibu. Para ibu dituntut untuk bisa beradaptasi dengan peran-peran yang diemban, sebagai ibu, istri, pekerja, guru, dan menjadi dirinya sendiri.
"Kebayang musti adaptasi, lima kali adaptasi. Jadi dirinya sendiri, ini terkait penerimaan diri, kondisi diri selama pandemi. Sebagai ibu, [harus memikirkan] apa yang harus diatur di rumah. Sangat banyak yang perlu diadaptasikan, hingga akhirnya level stres meningkat," jelas psikolog TigaGenerasi, Putu Andani, dalam kesempatan yang sama.
Jika momen tersebut dilalui dengan proses adaptasi yang baik, lanjut Putu, seorang ibu akan bisa bertahan. Namun, jika tak mampu beradaptasi, ibu bisa mengalami parental burnout. bahkan depresi.
Putu menuturkan, biasanya orang akrab dengan istilah stres. Jika mau dipetakan, burnout berada di level kedua setelah stres, kemudian disusul depresi di level ketiga.
"Burnout ini di tengah-tengah, ini titik kritis. Kalau bisa meregulasi, kita akan lebih kuat dan tahu rutinitas baru kemudian beradaptasi," imbuh Putu.
Dia memberikan tiga ciri parental burnout yang harus dikenali ibu.
1. Lelah secara mental
Stres terbilang berlangsung singkat, sedangkan burnout mencakup rasa lelah luar biasa. Dampaknya, ibu bisa berjarak dengan apa yang dikerjakan. Semangat atau passion yang biasanya muncul, burnout membuat semuanya hilang. Aktivitas dilalui biasa saja tanpa ada passion, bahkan konsentrasi bisa menurun.
2. Tidak ada bonding atau ikatan dengan anak
Saat burnout, anak dianggap sebagai pekerjaan yang ingin segera diselesaikan. Aktivitas bersama anak cenderung tanpa ikatan dan kedekatan emosional. Ibu ingin istirahat, tetapi ia dituntut mengikuti jadwal anak misal jadwal sekolah dan mengerjakan tugas.
Lihat juga:Bahaya Memarahi Anak di Rumah saat Pandemi |
3. Tidak ada rasa pencapaian (achievement)
Di mana pun individu bergerak, perlu ada 'sense of achievement'. Burnout membuat 'rasa' ini hilang.
Tak hanya mengenal lewat diri, parental burnout pun bisa dikenal lewat respons orang sekitar, terutama pasangan dan anak.
"Anak, kok, cepet nangis, ya? Oh, dia adaptasi juga karena kita enggak responsif. Lihat juga perubahan perilaku suami," imbuhnya.
Apabila Anda mengalami deret ciri tersebut, Putu menyarankan untuk mengambil waktu beristirahat. Kondisi badan dan pikiran tidak sinkron sehingga perlu diistirahatkan dan dibenahi. Bagaimana caranya?
"Anda bisa cerita [curhat], melakukan aktivitas yang menenangkan, afirmasi positif, melakukan evaluasi. Kalau semua ini tidak memberikan efek, coba kontak ahli," katanya.
(els/asr)