SURAT DARI RANTAU

Pakai Piyama Menyambut 2021 di New York

CNN Indonesia
Minggu, 03 Jan 2021 13:50 WIB
Kegemaran membeli piyama dan kaus kaki berbahan lembut menggantikan hobi saya dan kekasih berbelanja sneakers limited edition.
Suasana sepi di Times Square, New York, Amerika Serikat. (AP/Seth Wenig)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pergantian tahun 2020 ke 2021 saya lewati bersama kekasih, anjing dan ikan peliharaan kami di rumah. Tak ada perbedaan berarti seperti malam-malam sebelumnya selama pandemi virus Corona sepanjang 12 bulan kemarin, hanya saja semalam kami membuka sebotol sampanye.

Saat ini saya bermukim di New York, mengikuti kekasih saya yang sejak dua tahun lalu dipindahkan ke kantor cabang sebuah perusahaan keuangan di sini.

Di The Big Apple ini saya juga merintis usaha kecil-kecilan jual beli dekorasi rumah yang saya impor dari Indonesia. Berawal dari teman-teman yang berkunjung ke rumah lalu tertarik, hingga rekan kerja kekasih yang turut memesannya. Hasilnya lumayan untuk tabungan, siapa tahu bisa membelikan tiket untuk orangtua dan kakak main ke sini suatu hari nanti.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menjelang akhir tahun rasanya kehidupan di New York mulai membaik. Meski pandemi virus Corona belum juga berakhir, namun aura kota ini terasa lebih teduh, mungkin karena efek menangnya Joe Biden mengalahkan Donald Trump dalam pemilu kemarin.

Sebagai seorang pendatang yang sedang mengurus izin menetap saya ikut lega, mungkin saja rezim ini bisa "lebih ramah" terhadap imigran.

Imigran dan Amerika Serikat seakan tak bisa dipisahkan. Negara ini dianggap sebagai tempat mewujudkan mimpi - meski bagi saya mewujudkan mimpi itu bisa di negara mana saja.

Jika sedang keluar apartemen, sejauh mata memandang saya melihat banyak wajah-wajah pendatang, dari India, China, Jepang, Turki, dan negara non-kulit putih lainnya.

Bisa bercakap dengan mereka saat di antre di supermarket atau di food truck rasanya bisa mengobati kesepian karena kami sama-sama rindu kampung halaman.

Sebelum pandemi virus Corona kehidupan di sini serba sibuk, mirip Jakarta. Rebahan di rumah saat siang hari sepertinya hanya bisa dilakukan jika kita sakit atau akhir pekan.

Sekarang, saya dan kekasih bisa kerja sembari rebahan. Belanja piyama menggantikan belanja baju kerja dan baju pesta. Kami juga lebih tertarik dengan baju atau kaus kaki berbahan lembut ketimbang sneakers limited edition. Biasanya setiap bulan ada saja sneakers yang kami beli untuk koleksi dan dipakai. Rasanya pandemi membuat kami bisa lebih berhemat.

Hingga saat ini saya belum pernah menerima perlakukan rasisme, mungkin karena banyak orang di kawasan saya sudah banyak yang teredukasi. Kalaupun ada masalah, paling menghadapi "Karen", sebutan bagi orang (kebanyakan kulit putih) yang merasa dirinya superior.

Pengalaman menghadapi "Karen" pernah saya alami saat sedang brunch bersama kekasih di salah satu restoran dekat apartemen kami. Karena kekasih hendak ke pet shop, akhirnya saya lebih dulu datang ke restoran.

Sesampainya di restoran, ada rombongan mbak-mbak "Karen" yang nampaknya juga akan brunch. Mereka berargumentasi dengan pelayan untuk menyalip antrean meja saya, padahal saya lebih dulu datang. Mereka beralasan saya datang sendiri dan saya tidak akan memesan banyak makanan.

Tapi pelayan bersikukuh memberikan meja kepada saya, karena saya lebih dulu mengantre. Mungkin mereka tak percaya saya bisa membayar menu makanan di restoran yang ramai didatangi selebriti itu hahaha..

Saya yang malas berargumentasi memilih diam saja, hingga akhirnya kekasih saya datang dan sang pelayan menjelaskan masalah tersebut. Kekasih saya hanya tertawa dan mengajak saya masuk ke dalam restoran, membiarkan para "Karen" diurus sang manajer restoran.

Pandemi virus Corona sebenarnya membuat saya rindu juga dengan dinamika kota New York, yang saking epiknya bisa membuat saya dan teman-teman di sini mentertawakannya ketika kami sedang menggelar makan malam bersama.

Salah satu teman bercerita bahwa ia pernah mengalami cat calling (panggilan tak senonoh) dari seorang pria. Namun bukannya marah, ia malah balik menghampiri sang pria dan berterima kasih kepadanya dan mengatakan kalau hari itu ia sebenarnya sedang patah hati dan butuh dihibur.

Sang pria hanya bisa tertegun melihat teman saya balik curhat kepadanya. Itu salah satu kisah yang selalu membuat saya tertawa walau teman saya berulang-ulang menceritakannya hahaha..

Saya juga rindu dengan teman-teman saya, yang saat ini masih melakukan karantina mandiri di rumahnya masing-masing. Mereka juga pendatang dari benua Asia dan Eropa. Di waktu senggang, kami biasanya melakukan road-trip untuk menikmati alam bebas. Kalau malas, biasanya kami hanya memasak bersama di rumah.

Saya berharap pandemi virus Corona segera berlalu sehingga tak ada lagi korban jiwa seiring dimulainya kehidupan normal baru di New York, kota yang saya saya benci sekaligus cintai ini.

---

Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Tulisan yang dikirim minimal 1.000 kata dan dilengkapi minimal tiga foto berkualitas baik yang berhubungan dengan cerita. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, sila hubungi [email protected]

(ard)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER