Paris. Siapa yang tak ingin menginjakkan kaki di kota yang paling banyak dikunjungi di seluruh Eropa ini. Hampir semua turis mancanegara yang bepergian keliling Eropa pasti tak akan melewatkan kesempatan untuk mampir melihat keindahan Menara Eiffel dengan lampunya yang gemerlapan saat malam tiba.
Dulu, mengunjungi Paris apalagi tinggal di kota ini merupakan suatu hal yang boleh dibilang cukup mustahil untuk dicapai. Impian yang sangat jauh untuk direalisasikan; bahasa tidak mampu, sanak saudara tidak ada, dan biaya hidup yang amat tinggi pun menjadi kendala.
Tapi, dengan tekad dan usaha, tidak ada yang mustahil di dunia. Mulai dari mempelajari bahasa dari nol hingga mencapai level yang cukup untuk persyaratan kuliah, pencarian beasiswa, hingga akhirnya dinyatakan diterima di universitas ternama yang telah menjadi impian sejak dulu kala: Sorbonne.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ya, Paris memang bukan tempat pertama bagi saya merantau di negeri orang. Sebelumnya saya pernah tinggal di Kairo, Mesir untuk tujuan yang sama, menuntut ilmu. Tapi Paris bukanlah Kairo. Paris amat berbeda dengan Kairo.
Suara azan yang selalu menggema di seantero kota setiap waktu shalat, orang-orang yang selalu menyapa dengan 'Assalamualaikum' serta indah dan meriahnya suasana Ramadan, semua itu amat saya rindukan dari Kairo saat pertama kali menginjakkan kaki di Paris.
Sebelum berangkat ke Paris, saya telah menyiapkan diri untuk menghadapi segala perbedaan budaya dan kebiasaan yang baru. Negara ini jauh berbeda dengan akar budaya Indonesia maupun budaya Mesir. Ini pengalaman pertama saya tinggal di negara non-Muslim yang prinsipnya jauh berbeda dengan negara Muslim pada umumnya.
Sempat terpikir betapa sulitnya hidup di Paris sebagai orang asing, Muslim, dan berhijab pula. Ada rasa takut dan was-was kalau sampai saya tidak bisa beradaptasi di kota ini. Tapi nyatanya, hal itu tidak terbukti.
Banyak orang mengatakan bahwa orang Prancis itu Islamophobia, nyatanya tidak semua orang Prancis rasis dan membenci Islam, terutama orang yang tinggal di kota Paris, karena ini adalah kota yang paling banyak didatangi orang asing.
Menemukan wanita berhijab di Paris bukanlah hal yang sulit, hampir di setiap tempat ada. Orang-orang yang tinggal di Paris pada umumnya lebih welcome dengan pendatang Muslim karena mereka sudah terbiasa.
Beda halnya dengan orang Prancis di daerah lain yang jarang dikunjungi. Hijab mungkin masih sulit diterima di sana.
Tapi memang benar, orang Paris itu lebih "dingin" daripada orang-orang Prancis yang tinggal di kota lain. Ini mungkin karena perbedaan ritme kerja dan kehidupan. Paris adalah kota yang sibuk setiap saat, orang-orangnya tidak ada waktu untuk basa-basi atau sekedar memberikan senyuman untuk orang lain.
Namun sekali lagi, tidak semua orang seperti itu. Jika kita bertemu dengan orang yang tepat, mereka juga orang baik dan hangat.
![]() |
'Emily in Paris' klise atau nyata?
Saat ini serial 'Emily in Paris' sedang viral di media sosial karena memicu berbagai perdebatan.
Di satu sisi, ada orang-orang yang ingin mengikuti jejak Emily untuk tinggal di Paris karena serial ini menyuguhkan betapa indahnya jantung ibukota Prancis ini. Tapi di sisi lain, banyak pula yang mengkritik habis-habisan karena memandang serial ini terlalu klise dan tidak sesuai dengan realita.
Sebagai mahasiswa yang telah tinggal di Paris selama lebih dari empat tahun, saya tidak mengelak bahwa memang banyak hal yang dilebih-lebihkan dan tidak sesuai realita dalam serial 'Emily in Paris'.
Sebagai contoh, ada adegan ketika Emily baru sampai di gedung apartemennya dan ia menyapa seorang wanita di depan gerbang, tapi wanita itu tidak menjawab sapaannya malah memandangnya dengan tatapan dingin. Itu sama sekali tidak sesuai dengan budaya Prancis.
Adegan itu menampilkan seakan-akan semua orang Prancis itu tidak sopan, padahal tidak demikian. Di sini, ketika seseorang mengucap 'bonjour' ('halo' dalam bahasa Indonesia), maka otomatis lawan bicaranya akan menyapa balik meskipun dengan orang yang tidak dikenal karena ini sudah menjadi tradisi.
Lalu, apartemen Emily yang disebut 'chambre de bonne', yang maknanya kamar untuk pembantu yang biasanya terletak di loteng, sama sekali tidak sesuai dengan realita.
'Chambre de bonne' itu sangat kecil dan biasanya hanya berukuran sembilan meter persegi yang hanya berisi sebuah tempat tidur kecil. Sedangkan apartemen Emily justru lebih besar daripada apartemen di Paris pada umumnya.
Bicara tentang orang Prancis yang senang merokok, ya memang benar adanya. Tapi tidak ada yang melewatkan makan siang dan menggantinya dengan sampanye dan rokok, dan tidak ada yang merokok di dalam ruangan apalagi di kantor seperti yang terjadi dalam serial 'Emily in Paris'. Merokok di dalam ruangan publik sudah terlarang di Prancis sejak tahun 2007.
Orang Prancis memang terkesan blak-blakan dan jujur dalam mengungkapkan apa yang mereka pikirkan, tetapi mereka bukan tipe orang yang kasar dan menghina budaya lain seperti yang terjadi di serial ini.
Contohnya saat ada pembicaraan tentang pizza di Chicago tempat Emily berasal yang digambarkan 'dégeulase' atau menjijikan oleh kliennya. Itu tidak mungkin terjadi di kehidupan nyata apalagi dalam ruang lingkup kerja dan diantara orang-orang profesional dan berpendidikan.
Di serial ini juga digambarkan bagaimana Emily bertemu dengan seorang pria di sebuah kafe yang terkenal di Paris, memulai pembicaraan sampai akhirnya mereka dekat dan menjalin hubungan.
Apakah di kehidupan nyata segampang itu? Tentu saja tidak. Adegan ini menurut saya lebih tepat untuk menggambarkan tipikal orang Amerika yang mudah akrab dengan orang yang tidak dikenal seperti yang sering kita lihat di film Hollywood.
Orang Prancis itu biasanya sudah memiliki lingkaran pertemanan sendiri, jadi untuk kenal dan dekat itu butuh usaha dan jangka waktu yang tidak sebentar.
Kalau kita berbicara tentang perbedaan karakter orang Indonesia dengan orang Prancis, apakah semua laki-laki Prancis itu semenawan Gabriel yang ada di dalam series ini? Sekali lagi, itu hanya gambaran dalam acara TV, jadi jangan berharap bisa menemukan pria seperti itu dengan mudahnya di Paris.
Terlebih lagi, budaya Indonesia dan Prancis yang sangat berbeda pun harus menjadi bahan pertimbangan sebelum memutuskan untuk mencari pria Prancis sebagai pasangan hidup. Jika telah siap dengan perbedaan budaya, cara pandang dan perbedaan-perbedaan lainnya, maka bolehlah ke Paris dan mencari pria seperti Gabriel.
![]() |
Meski begitu, tidak semua hal dalam serial 'Emily in Paris' ini tidak sesuai dengan kenyataan. Banyak juga sisi-sisi Paris dan karakter orang Prancis yang digambarkan di serial ini benar adanya.
Di Prancis, gedung itu dimulai dengan lantai dasar, baru kemudian lantai satu, tidak seperti di kebanyakan negara lain yang memulai langsung dengan lantai satu.
Gedung-gedung tua di Prancis juga kebanyakan tidak memiliki lift dan kalaupun tersedia, lift itu sangat kecil dan hanya bisa dinaiki oleh satu atau dua orang saja.
Pemandangan dari jendela apartemen Emily juga bukanlah hal yang mustahil jika kita mendapatkan apartemen di lantai atas dan di lingkungan yang bagus seperti daerah Panthéon, tempat Emily berada.
Tapi untuk mendapatkan pemandangan ini bukanlah hal yang mudah dan harus siap membayar biaya sewa yang jauh lebih besar dari apartemen pada umumnya.
Kesulitan Emily dalam berinteraksi dengan orang lain karena dia tidak bisa berbicara bahasa Prancis, ya, itu pasti akan terjadi di dunia nyata jika kita mendarat di Paris dan tidak bermodalkan bahasanya.
Bukan karena semua orang Prancis tidak bisa berbahasa Inggris, tapi karena semua kebutuhan hidup disini menuntut kita untuk bisa berbahasa Prancis. Orang Prancis banyak yang bisa berbahasa Inggris, tapi tidak banyak dari mereka yang merasa nyaman untuk menggunakannya.
Mungkin kebanyakan orang yang berasal dari negara berbahasa Inggris menganggap mereka bisa dengan mudahnya hidup di negara lain dengan dalih semua orang di dunia ini bisa berbahasa Inggris. Tapi sedikit usaha untuk mempelajari bahasa tempat tujuan merantau akan sangat dihargai oleh penduduk setempat dan akan sangat membantu beradaptasi di negara baru.
Ada sebuah adegan yang memperlihatkan perbedaan budaya yang amat menonjol antara Amerika dan Prancis dalam hal gastronomi. Prancis amat menghargai gastronomi dan ketika hidangan sudah disajikan di atas meja, maka itulah hidangan yang sempurna menurut chefnya.
Oleh karena itu, seseorang akan dinilai sangat tidak sopan dan tidak menghargai hasil karya chef tersebut jika ia memintanya untuk mengubah hidangan tersebut.
"Tidak ada yang akan menghakimimu jika kamu tidak melakukan apa pun". Ya, itu benar. Orang Prancis terkenal jago dalam menikmati waktu senggang dan tidak melakukan apapun. Maka mereka pun tidak akan mengkritik kita jika ingin rehat sejenak dan hanya menikmati waktu kosong setelah kesibukan panjang.
Secara garis besar, serial ini memang mengandung banyak klise dan stereotip tentang Prancis dan penduduknya yang jauh dari kenyataan. Tetapi seperti kebanyakan film atau serial Hollywood lainnya, 'Emily in Paris' memang ditujukan untuk hiburan semata.
Paris dengan segala keindahannya, Paris yang bersih, Paris yang elegan, semua yang digambarkan dalam serial ini hanyalah ilustrasi kehidupan Emily sebagai seorang ekspatriat yang lingkaran pertemanannya bisa dibilang kelas atas.
Paris yang sebenarnya menyimpan sisi lain yang jauh berbeda dengan yang ada di layar kaca.
Merantau di Paris tidaklah semudah yang dilakukan Emily. Jika posisi kita seperti Emily yang pekerjaannya sudah terjamin, punya teman dan tetangga yang baik dan tidak harus mengurus berbagai administrasi sendiri, maka hidup di Paris akan terasa seperti di alam mimpi.
Kenyataannya, sistem administrasi di Prancis amatlah rumit dan butuh kesabaran yang sangat ekstra untuk menghadapinya.
Sebagai mahasiswa, kita juga dituntut untuk pintar-pintar berhemat karena biaya hidup di Paris jauh lebih tinggi jika dibandingkan hidup di daerah manapun di Indonesia.
Bagi pembaca CNNIndonesia.com yang berkeinginan untuk merantau dan tinggal di Paris, percayalah, kalian pasti bisa. Ada doa, ada usaha, yang pasti jalan itu akan selalu terbuka.
Menguasai bahasa Prancis merupakan salah satu syarat utama untuk hidup di sini.
Selain itu, pilihlah lingkaran pertemanan yang sehat dan yang memotivasi agar kalian bisa menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari.
Kerja keras, semangat, dan jangan pernah putus asa untuk menggapai mimpi. Karena setiap keajaiban yang terjadi di dunia ini, hanya berawal dari mimpi.
Oscar Wilde pernah berkata, "Tetaplah menuju bulan, karena jika kamu meleset, kamu akan mendarat di antara bintang-bintang."
---
Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Tulisan yang dikirim minimal 1.000 kata dan dilengkapi minimal tiga foto berkualitas baik yang berhubungan dengan cerita. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, sila hubungi [email protected]