Pasalnya kala itu akses dan medan ke Timbuktu dari benua Eropa memang menantang. Durasi perjalanan yang belum menggunakan alat transportasi modern amatlah panjang dan melelahkan.
Mulai abad ke-18, banyak orang Eropa mencoba mencapai Timbuktu. Baru pada 1826, seorang penduduk Eropa berhasil mencapai kota dan kembali lagi ke negaranya.
Dia adalah seorang penjelajah dari Perancis bernama René-Auguste Caillié. Kemudian, pada tahun 1894, Prancis menginvasi dan menjajah Timbuktu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bangsa Mali memperoleh kemerdekaan dari Prancis pada tahun 1960. Timbuktu menjadi salah satu kota besarnya.
Pada 1990-an, upaya untuk melindungi kota kuno dimulai. Sebagian besar difokuskan pada tiga masjid besarnya, yang dibangun pada tahun 1300-an; Djingareyber, Sankore, dan Sidi Yahia.
Pada 2012, kelompok pemberontak Tuareg dan militan Islam menguasai sebagian Mali, termasuk Timbuktu.
Kota itu ditempatkan di bawah hukum Syariah yang ketat. Banyak monumen bersejarah dirobohkan.
Para ekstremis juga membakar banyak manuskrip kuno, kecuali yang diselundupkan ke luar kota oleh para pustakawan pemberani.
Timbuktu dibebaskan dari pemberontak dan militan pada 2013. Hari ini, kota yang merupakan Situs Warisan Dunia UNESCO sedang memulihkan kondisinya.
Penerbangan komersil pun telah mendarat lagi di Timbuktu. Pemulihan yang perlahan tapi pasti, karena banyak orang yang berharap kota itu bisa segera terbebas konflik berdarah dan segera membuka gerbang pariwisatanya bagi turis penggemar sejarah dan petualangan.
(ard)