Glodok dengan area Petak Sembilan-nya terkenal sebagai pecinan terbesar di Indonesia. Lebih daripada itu kawasan ini juga dijuluki sebagai 'Kepala Naga'. Bukan tanpa alasan istilah ini melekat pada kawasan yang berada di barat Jakarta ini.
Glodok adalah sebuah kawasan yang kini menjadi kelurahan di kecamatan Taman Sari Jakarta Barat. Kata Glodok konon katanya berasal dari bahasa Sunda yakni 'golodok' yang berarti 'pintu masuk rumah'. Pada zaman kerajaan dulu, kawasan ini menjadi pintu masuk Sunda Kelapa.
Riwayat lain menyebut kata Glodok berasal dari suara-suara aktivitas di tempat tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kenapa disebut Glodok karena banyak orang yang menarik pedati, yang rodanya kayu. Banyak yang mengangkut barang dan bunyinya 'gladak gluduk', nah dari bunyi itu, karena aktivitas bisnisnya tinggi sekali," kata Kepala Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan ahli arkeologi Profesor Agus Aris Munandar kepada CNNIndonesia.com.
Sudah sejak zaman kolonial, Glodok terkenal sebagai pusat bisnis. Awalnya, aktivitas ekonomi berpusat di Sunda Kelapa lalu meluas ke Glodok. Situasi ini dipicu karena pemerintah kolonial Belanda mengimpor pekerja dari China.
Tenaga terampil seperti tukang kayu, tukang batu, dan tukang bangunan didatangkan langsung dari China untuk membangun Batavia.
"Orang-orang China saat itu tinggal di daerah Mangga Besar, belum menjadi komunitas, masih terpisah-pisah," kata pengamat kebudayaan China Eddy Prabawo Sutanto kepada CNNIndonesia.com.
Barulah setelah 1740 saat terjadi pembantaian besar-besaran etnis Tionghoa di Batavia, Belanda mengumpulkan mereka di suatu tempat. Tempat yang dipilih adalah Glodok.
"Dipilihkah satu tempat, sebelah selatan dari tembok kota, namanya Glodok. Tempatnya masih terjangkau oleh peluru meriam Belanda," ucap Eddy.
Menurut Eddy, etnis Tionghoa dikumpulkan di satu tempat agar tidak memberontak dan mudah diawasi.
![]() |
![]() |
Namun, Glodok dinilai sebagai kawasan yang paling menguntungkan. Pasalnya, orang Tionghoa memiliki kepercayaan terhadap Taoisme, yakni aliran filsafat yang melihat diri dan juga lingkungan di sekitar.
Terpusatnya masyarakat Tionghoa pada satu tempat membuat aktivitas ekonomi di tempat itu berkembang pesat. Dari Glodok, berkembang ke arah selatan menuju Pasar Baru, Senen, hingga Jatinegara.
Masyarakat Tionghoa percaya tempat yang baik selalu memiliki unsur gunung di belakang dan air di depan. Kriteria itu dipenuhi oleh Glodok.
"Glodok ini dekat dengan muara," ujar Eddy.
![]() |
"Kepala naga di hilir yang di muara, badannya di tengah, kakinya di selatan. Kepala cocok untuk bisnis, badan untuk tempat tinggal," ungkap Eddy.Tempat-tempat ini juga sering digambarkan bak binatang mitologi China yakni naga. Bagian yang dekat dengan air disebut dengan kepala, lalu badan, dan kaki.
Filosofi ini pula yang membuat banyak orang China tinggal di daerah utara dan barat Jakarta. Kepercayaan ini juga yang membuat Glodok tetap ramai menjadi pusat perdagangan.
![]() |
Eddy menyarankan agar pemerintah bisa memanfaatkan peluang ini untuk mengembangkan Glodok menjadi lokasi wisata yang baik. Pasalnya, Glodok dinilai memiliki banyak cagar budaya serta pecinan yang punya daya tarik yang besar.
"Bisa mencontoh apa yang dilakukan Malaysia di Melaka dan Penang. Itu bagus sekali dengan menerapkan insentif," kata Eddy.
![]() |