Jakarta, CNN Indonesia -- Kerusuhan pada Mei 1998 silam bisa jadi menjadi salah satu sejarah kelam bagi Indonesia. Sejumlah kerusakan terjadi di berbagai tempat. Salah satunya di Glodok, Jakarta Barat, yang menjadi tempat berdagang oleh warga beretnis Tionghoa.
Yunita, yang kala itu masih duduk di kelas 5 SD turut menyaksikan peristiwa yang terjadi di Glodok. Pada 14 Mei 1998 pagi, Yunita masih berangkat ke sekolahnya yang terletak di kawasan Glodok seperti biasa. Karena pada pagi hari, masih belum ada tanda-tanda bahkan akan terjadi kerusuhan.
Namun, sekitar pukul 10.00 WIB, seluruh murid di sekolah Yunita dikumpulkan di aula sekolah. Saat itu guru dan pihak sekolah meminta murid untuk langsung pulang ke rumah masing-masing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Saat itu memang sudah ada besar sih, karena memang dekat banget sama Glodok, jadi ada kebakaran besar itu kita tahu. Tiba-tiba semua orangtua menjemput dan dikembalikan ke rumah masing-masing,” ujar Yunita saat ditemui
CNNIndonesia.com, pada pekan ini.
Sebagai seorang anak, ada perasaan takut yang dirasakan oleh Yunita. Kebakaran yang terjadi di mana-mana serta banyaknya helikopter yang melintas membuat rasa takut tersendiri baginya.
Untungnya, lingkungan tempat tinggal Yunita yang berada di kawasan Kota terbilang aman, karena ada beberapa warga turun langsung menjaga di daerah tersebut.
Beruntung pula, Yunita tinggal di lingkungan yang multikultural yang juga mau membantu untuk ikut menjaga situasi keamanan.
“Lingkungan rumah saya agak multikultural, jadi semua menjaga satu sama lain, dijaga siskamling segala macam. Orang yang rasnya Tionghoa enggak boleh keluar sama sekali pada waktu itu, tapi yang menjaga suku lainnya,” ucap Yunita.
Kejadian tersebut, membuat Yunita menyadari satu hal, bahwa dirinya memang berbeda, bahwa dirinya adalah seorang minoritas. Yunita mengaku sebelum ada kejadian itu, dirinya mengaku tak pernah merasa bahwa ia adalah seorang minoritas di Indonesia.
“Sejak hari itu saya mulai menyadari bahwa saya benar-benar minoritas di bangsa Indonesia. Sebelumnya saya enggak terlalu mengerti. Lalu tiba-tiba ada ucapan ‘Cina lo Cina’, saya baru tahu ada pembedaan seperti itu, karena sebelumnya saya tidak tahu,” tuturnya.
 Salah satu perayaan Cap Go Meh di Glodok. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Ketika itu, kerusuhan di pelbagai tempat pula yang mengakibatkan Presiden Soeharto yang berkuasa 30 tahun, turun dari kursi kekuasaan. Kerusuhan itu juga diawali dengan krisis moneter pada 1997.
Berbeda pula yang dialami oleh Candra Jap yang saat kejadian tersebut sedang menjalani ujian Evaluasi Belajar Tahap Nasional (Ebtanas) mata pelajaran Bahasa Inggris. Saat mengetahui terjadi penjarahan dan pembakaran di Glodok semua siswa dan guru pun langsung panik.
Apalagi Candra dan teman satu kelasnya bisa meliat langsung kejadian tersebut karena letak ruang kelasnya yang berada di lantai 3.
“Di lantai 3 pas kebetulan hadap luar langsung gedung Glodok Plaza, kita bisa lihat kok ada asap hitam dan sudah ramai,” kata Candra kepada
CNNIndonesia.com.
Melihat keadaan seperti itu, murid-murid pun langsung mengerjakan soal dengan cepat. Setelah selesai, guru pun langsung memerintah semua murid untuk segera pulang ke rumah.
Candra pun melihat secara langsung bagaimana orang-orang mulai menjarah barang-barang di pertokoan kemudian membakar gedung-gedung pertokoan tersebut.
Baginya peristiwa tersebut menjadi sebuah pengalaman yang cukup mengakibatkan trauma. Tak hanya trauma karena peristiwa dan penjarahan yang terjadi, tapi juga trauma karena mengapa etnis Tionghoa yang diserang.
“Pengalaman sangat-sangat traumatik, waktu itu bingung kenapa orang Tionghoa jadi korban, masalahnya apa, Tionghoa kenapa, teman-teman juga bingung, emang kami bukan warga negara Indonesia ya,” ujar Candra.
Candra mengatakan ketakutan yang dirasakan oleh warga etnis Tionghoa kala itu adalah karena mereka tidak tahu siapa sebenarnya lawan yang mereka hadapi.
Karena jika musuhnya adalah orang non-Tionghoa, Candra menyebut banyak pula warga non-Tionghoa yang ikut membantu menjaga posko keamanan.
Ketakutan yang dirasakan saat itu bahkan sampai berdampak pada ketakutan warga saat melihat segerombolan orang lewat.
Tak Tahu MusuhKata Candra, saat itu jika melihat ada segerombolan orang pasti langsung dianggap sebagai musuh, dianggap sebagai perusuh. Dan siapa pun yang lewat sambil membawa barang langsung dianggap sebagai penjarah.
“Yang lucu itu kami enggak tahu siapa lawan kami, masa orang non-Tionghoa, soalnya banyak yang bantuin kami jaga posko juga, kalau bahasa kerennya sekarang, kami merasa negara enggak hadir, kami mau minta bantuan polisi juga enggak bisa,” ujarnya.
Keadaan seperti itu, lanjut Candra akhirnya menyebabkan beberapa temannya memilih untuk kabur ke luar negeri.
Candra mengungkapkan kerusuhan itu tidak terjadi secara tiba-tiba.
 Ilustrasi. Negara dianggap tak hadir saat Kerusuhan Mei 1998. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Ia menyebut sudah terjadi pengkondisian sejak dua bulan sebelum terjadinya kerusuhan. Pengkondisian itu, lanjut Candra, dilakukan dengan cara menaikkan harga-harga yang akan dibeli oleh etnis Tionghoa. Orang tua pun mulai berpesan kepada anak-anaknya untuk selalu berhati-hati.
"Ada kejadian teman saya beli teh botol di pinggir jalan harga Rp20.000, padahal waktu itu harga teh botol cuma Rp500, dia bilang kok mahal, terus dijawab lo kalau enggak mau bayar ya sudah enggak usah, tapi tunggu tanggal mainnya nanti, sudah ada kayak gitu," kata Candra.
Candra pun sempat mengalaminya. Hal ini karena pada saat kerusuhan, orang Tionghoa dicitrakan sebagai etnis yang hanya peduli terhadap uang dan tidak peduli terhadap sesama, kalau menjadi atasan pelit, dan lain sebagainya.
"Yang paling berat itu malu jadi orang Tionghoa, sejak itu saya mulai mencari kenapa bisa seperti itu, akhirnya saya menemukan sosok Soe Hoek Gie, begitu baca buku dia, rasa kebanggaan sebagai orang Tionghoa muncul," ungkap Candra, yang saat ini aktif dalam Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI).
Kini, 19 tahun setelah rerformasi, baik Candra maupun Yunita mengaku kehidupan mereka berjalan normal. Tak ada diskriminasi yang mereka terima dalam kehidupan sehari-hari.
Hanya saja, Yunita yang saat ini menjabat sebagai Kepala Divisi Advokasi LBH Jakarta, menyatakan bahwa isu SARA bisa saja meletup lagi.
“Sekarang mungkin agak menurun tapi sebenarnya itu laten ya. Konflik laten bisa dikeluarkan kapan pun, minoritas suku, agama, isu SARA berbahaya,” ujarnya.