Pria Cerai di China Harus Ganti Biaya Urus Rumah Rp109 Juta
Pengadilan perceraian China telah memerintahkan seorang pria untuk membayar biaya senilai 50 ribu yuan atau sekitar Rp109 juta ke mantan istri sebagai biaya ganti rugi urus rumah tangga selama pernikahan mereka.
Keputusan ini merupakan kasus pertama terkait undang-undang yang baru-baru ini diberlakukan. Aturan itu memungkinkan mantan pasangan untuk mebayar ganti rugi atas waktu dan tenaga yang dihabiskan pasangan mereka untuk memasak, membersihkan, membesarkan anak, merawat kerabat yang lebih tua atau mendukung keluarga dari rumah.
Kendati demikian, keputusan tersebut telah memicu perdebatan sengit di antara jutaan netizen China di media sosial mengenai nilai pekerjaan rumah tangga.
Pasangan tersebut, yang identitasnya terbatas pada nama keluarga mereka - Wang dan Chen - telah menikah selama lima tahun, yang mana dua tahun di antaranya mereka habiskan terpisah sebelum mengajukan gugatan cerai pada 2020, menurut dokumen pengadilan.
Wang berpendapat bahwa dia berhak atas kompensasi, terutama selama dua tahun dia membesarkan putra mereka tanpa nafkah dari mantan suaminya, Chen. Wang juga menuduh suaminya berselingkuh.
Pengadilan lantas memberi Wang hak asuh penuh atas putra mereka dan memerintahkan Chen untuk tetap menafkahi keluarganya dua ribu yuan atau Rp4,3 juta per bulan dengan tagihan tambahan sebesar 50 ribu yuan(Rp109 juta) untuk pekerjaan rumah dan tugas perawatan anak yang dilakukan Wang selama menikah.
Atas kasus tersebut, netizen China ikut menanggapi lewat komentar di media sosial Weibo. Ada yang memprotes keputusan pengadilan untuk biaya ganti rugi masih tak sebanding.
Seorang pengguna menunjukkan bahwa gaji satu tahun untuk pekerjaan apa pun akan lebih dari dua kali lipat jumlah itu.
Di sisi lain, yang lain berpendapat bahwa Wang "juga menikmati hasil dari pekerjaan rumahnya," jadi mengapa hanya Chen harus bertanggung jawab atas kompensasi tersebut.
Pengacara perceraian di provinsi Sichuan di China, Zhong Wen, mengatakan kepada SCMP bahwa undang-undang baru, yang diberlakukan pada 1 Januari tahun ini, menetapkan preseden baru di negara tersebut.
"Mereka yang melakukan pekerjaan rumah tangga direndahkan dalam pernikahan, dengan efek yang paling jelas adalah keterampilan bertahan hidup mereka di masyarakat dan keterampilan profesional mereka mungkin akan menurun," kata Zhong.
Dia juga mengatakan perintah pengadilan itu konservatif dibandingkan dengan norma perceraian di budaya lain, seraya menambahkan bahwa proses perceraian di Inggris mempertimbangkan kewajiban domestik kedua belah pihak, terlepas dari status pekerjaan mereka, saat membagi properti dan menetapkan tunjangan.
Menurut penelitian PBB, secara global, wanita mengambil dua setengah kali lebih banyak pengasuhan dan melakukan pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar daripada pria.
(agn)