'Welcome back Mas Boy!'
Kembalinya Andry Kurniawan alias Boy ke dunia seni tak pelak bikin kaget rekan sesama seniman. Momen pameran lukisan bertajuk 'The Sweet Beat' awal Januari lalu seolah jadi syukuran kepulangan si 'anak yang hilang'.
Ada rasa lega sekaligus senang karena sambutan hangat nan positif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Enam tujuh tahun lalu tuh mereka tanya 'Kesenianmu piye?' (Bagaimana dengan kelanjutan karyamu?), saat itu saya jawab saja 'Aku wis ketemu kapitalis, pemodal'," ujar Boy saat berbincang dengan CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Jumat (26/2).
Kala itu Boy meninggalkan dunia seni untuk berbisnis penginapan. Lingkaran pertemanan atau komunitas pun berubah. Hidup terasa tak membosankan berkat pertemuan dengan orang-orang dari berbagai daerah juga negara. Model turis seperti apapun sudah pernah ia temui. Sepi? Mungkin tak ada dalam kamusnya.
Di sela kesibukan berbisnis, ada beberapa kesempatan yang mempertemukan Boy dengan rekan sesama seniman. Ironis, ia justru merasa asing dengan dunia yang sempat ia geluti dan membentuknya selama ini. Tidak terbayang, rupanya ada 'harga' yang harus dibayar saat ia fokus menekuni bisnis.
"Saya merasa asing banget dengan crowd (lingkungan) kesenian. Sempat dateng ke pameran, masuk, lihat-lihat, lalu pelan-pelan melipir. Padahal teman sendiri, kenal semua," ujarnya.
"Periode dramatis. Ini dunia saya. Rasanya skena seninya aneh. Ih pada ngomongin apa ya? Kok maju banget ya?"
Seperti Boy, momen terasing dan kesepian pun dialami Putri Puspitasari, seorang karyawan swasta. Sekitar akhir 2016 lalu, pindah departemen membuatnya bertemu orang baru. Kondisi ini pun menuntutnya untuk beradaptasi baik dengan tugas dan tanggung jawab baru maupun rekan kerja.
Putri mengaku ada rasa takut ditolak, takut salah saat berinteraksi, takut tidak cocok dan segudang rasa-rasa lain yang membuatnya insecure (tidak aman).
"Jadi kalau kumpul sama teman-teman kerjaan ya kumpul (semacam) jadi bayangannya, ke mana-mana ikut, ikut ngakak, tertawa tapi di permukaan saja. Bukan yang benar-benar menikmati waktu bersama mereka," kata Putri melalui pesan teks, Kamis (25/2).
Tak jarang ia memilih untuk membuka ponsel baik untuk mengakses media sosial atau bermain gim. Kalau tidak, ia cukup diam dan memperhatikan mereka yang mengobrol. Putri pun lebih memilih pulang kos daripada lanjut pindah nongkrong di lokasi berbeda.
Kondisi ini 'hanya' berjalan setahun. Rasa 'insecure' masih ada tetapi tidak sebesar sebelumnya. Perlahan, Putri berdamai dengan keadaan.
"Mulai enggak negative thinking ke orang lain soal pernilaian mereka terhadap saya, lalu bisa menemukan ritme kerja yang cocok, kemudian mulai ngerti, oh kalau sama ini harus gini, si itu maunya begitu," imbuhnya.
"Sekarang sudah mulai nyaman, pun karena kebetulan menemukan orang-orang yang support juga sih. Ada beberapa teman yang bisa dijadikan 'cagak' (tiang) untuk bersandar, yang sealiran."
Sementara itu, psikolog klinis Roslina Verauli mengatakan momen kesepian, keterasingan di tengah keramaian sangat mungkin terjadi.
Perlu dibedakan antara alone atau sendirian dan lonely atau kesepian. Rasa kesepian tidak selalu berkaitan dengan kondisi fisik bahwa seseorang sedang sendirian.
"Kalau lonely itu penghayatan subjektif bahwa kita merasa sepi, sendiri. Orang sendirian tidak selalu lonely, tapi orang yang di tengah keramaian bisa lonely karena penghayatan subjektif," kata psikolog yang kerap disapa Vera ini.
Sedangkan, psikolog klinis Rena Masri berpendapat kesepian di tengah keramaian ini perlu dilihat kasus per kasus. Perlu dicari tahu alasan kesepian di tengah keramaian ini misal bisa saja seseorang merasa stres, sedih, tertekan, banyak pikiran.
"Walau ada di keramaian, enggak bisa menikmati hal itu. Misal lagi banyak masalah sehingga enggak bisa merasakan kebahagiaan, kenyamanan dengan teman," katanya.
(agn)