Jakarta, CNN Indonesia --
Buat Jakarta, juga kota-kota besar lain di Indonesia, segala sesuatunya terasa mudah, terasa cepat. Mulai dari akses informasi, fasilitas, pemenuhan kebutuhan harian semua mudah. Kemudian cepat, bahkan saking cepatnya, hidup terasa bagai kompetisi dan nyaris tanpa jeda. Kalau sudah begini, penat pasti menghampiri.
Sebelum fisik dan psikis 'goyang', ada baiknya sejenak menepi dalam rangka mengasingkan diri baik dari bising klakson kendaraan maupun gemuruh notifikasi ponsel. Adalah Desa Cisadon yang terletak di Kelurahan Karang Tengah Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, suatu lokasi yang pas untuk 'melipir' dari hiruk pikuk kota metropolitan.
Sepintas terbayang suasana perkampungan nan asri, suara kotek ayam dan celoteh warga setempat dengan bahasa Sunda. Namun ini hanya hipotesis hingga akhirnya saya memutuskan untuk menyambangi desa ini. Cukup bermodal sepasang kaki dan keyakinan, pada Selasa (2/3), nyatanya apa yang saya lalui dan saksikan melebihi ekspektasi di awal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dimulai dari Prabowo
Bersama Local Guide Sentul Community, perjalanan ini dikemas dalam bentuk trekking. Saya musti melepas segala kenyamanan kota besar dan bersedia menghadapi segala kemungkinan mulai dari jalur menantang hingga cuaca tak menentu. Saya akan melalui jalur Prabowo.
Jika di pikiran Anda terlintas nama Menteri Pertahanan RI, ini tidak salah. Nama ini memang disematkan karena kediaman Prabowo Subianto terletak di area Desa Bojong Koneng, tidak jauh dari titik awal keberangkatan. Tidak aneh ketika Anda akan menemukan aparat berseragam loreng dan bersenjata laras panjang berjaga di sekitarnya.
Karena hari kerja, suasana tampak lengang. Warung yang sedianya menjamu para pengunjung pun tutup. Mamet dan Uje, tour guide trekking kali ini, mengatakan warung buka di akhir pekan saat ramai pengunjung.
Sebelum menjejakkan kaki, saya dipandu untuk peregangan. Ini akan berguna untuk 'menghangatkan' otot. Belum apa-apa, saya sudah gugup. Selesai peregangan, kami bersiap dengan logistik masing-masing. Selain kamera, saya memastikan ada camilan dan air minum di tas. Lagi-lagi karena hari kerja, saya tidak ingin menggantungkan harapan pada warung di sepanjang perjalanan.
Kami akan menempuh perjalanan sepanjang kira-kira 8 kilometer. Sebuah tanjakan dengan aspal rusak di sana-sini jadi penanda keberangkatan pada pukul 7.30 WIB. Dekat portal besi, Dadan Anwarudin atau akrab disapa Edo sudah menanti dan bergabung dengan kami.
 Medan trekking. (CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari) |
Medan tanpa kata 'mustahil'
Halimun, dalam bahasa setempat berarti kabut, tipis menyambut. Karena perjalanan cukup panjang, saya musti mengatur napas. Aspal rusak mulai berganti dengan medan berbatu-batu campur tanah basah sisa hujan semalam.
Jalan menanjak dengan diiringi 'dinding' alam di sebelah kanan dan jurang di sebelah kiri. Samar-samar ada pemandangan gunung dan bukit hijau. Meski halimun memendekkan jarak pandang, masih terselip syukur karena hujan belum turun. Langit masih konsisten mempertahankan mendung rupanya.
Sesekali kami harus melewati jalan dengan cekungan memanjang dan dalam, seperti bekas ban mobil. Bisa dibayangkan kalau hujan turun cekungan ini bakal berubah jadi kolam dikelilingi lumpur.
"Jalur ini sering buat lewat mobil off road, motor trail. Orang lari, sepedaan juga lewat sini," ujar Mamet.
Kepala saya sulit menangkap soal lari dan bersepeda di jalur ini. Mungkin para pesepeda gunung, pikir saya. Tanya ini seolah terjawab setelah 2 kilometer berjalan. Kami memutuskan untuk istirahat sejenak di sebuah warung di persimpangan jalur Prabowo dan jalur arah Megamendung. Kami tepat di sisi bukit Tumpel.
Di menit-menit akhir waktu istirahat, tiba seorang pesepeda dari lawan arah. Dari sini saya percaya jalur ini memang dilintasi pesepeda.
Tak cukup sampai di situ. Saya pun dibuat takjub dengan motor-motor warga yang melintas. Bukan motor trail atau motor khusus lain melainkan motor matic atau manual biasa. Mereka melintas seperti tak ada satu pun hambatan. Buat saya jalan ini nyaris mustahil dilalui tetapi tidak buat mereka.
 Melewati aliran air. (CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari) |
Air minum tanpa kemasan
Halimun mulai tersibak sehingga saya bisa melihat pemandangan gunung dan bukit lebih jelas. Vegetasi sepanjang jalur perjalanan jadi makin jelas. Terselip pohon-pohon kopi nan tinggi di sisi kiri jalan. Pohon kopi berjenis robusta ini sudah berbuah meski masih hijau. Tak jarang kami pun menemukan bunga-bunga liar berwarna ungu di antara semak dan tumbuhan pakis.
Sayup-sayup terdengar suara aliran air. Rupanya ini merupakan rembesan dari mata air di bagian atas perbukitan. Saya menemukan aliran air seperti selokan di tepi kanan jalan atau tepat di bawah dinding tanah berlapis tumbuhan liar dan lumut. Airnya begitu jernih dan dingin saat menyentuh kaki.
Beberapa kali aliran air ini 'menyeberang' jalan yang kami lalui. Aliran kecil ada, pun aliran cukup besar ada. Ada pula yang tampak seperti miniatur curug dan leuwi atau air terjun dan kolam dalam bahasa setempat. Di beberapa titik, ternyata terpasang bilah bambu sehingga siapapun bisa memuaskan dahaga atau sekadar mencuci muka.
"Air segar dari pegunungan langsung. Bisa diminum kok Kak!" kata Uje.
 Mata air yang bisa langsung diminum. (CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari) |
Air begitu dingin meski tanpa es batu kemudian ada sedikit rasa mirip tanah. Lumayan, air bisa menambah pasokan air di botol kami.Bagaimana rasanya?
Selain di miniatur curug maupun leuwi, istirahat pun dilakukan di badan jalan yang cukup datar. 'Bonus' kalau dalam istilah pendakian atau trekking termasuk di Pondok Pemburu, sebuah lokasi area kemah. Sekilas lokasi ini mirip padang rumput di serial Teletubbies.
Nikmat 'wine' di pekat halimun
Perlahan saya seperti membelah perkebunan kopi. Di kanan kiri jalan, pohon kopi seperti membentuk pagar alam. Kemudian terdapat pohon dengan papan bertuliskan 'Cisadon', bersebelahan dengan jalan menurun. Kurang dari 30 menit, tampak rumah-rumah beratap seng. Berjalan sekitar 50 meter, terdapat gapura sederhana dengan papan bertuliskan 'Selamat datang di Cisadon'. Ada rasa lega sekaligus bangga bisa menakhlukkan jalan sekaligus rasa lelah.
Jangan bayangkan perkampungan dengan rumah padat berdekatan. Di sini jarak satu rumah dengan rumah lain terbilang lumayan. Sebuah mushola berdiri tegak di tengah bagai tumpeng syukuran. Saya diarahkan untuk ke rumah Ujang Usman, ketua RT 4, Desa Cisadon. Tepat di pukul 10.46 kami sampai.
Ia mempersilakan kami untuk beristirahat sembari menikmati kopi. Termos-termos air panas disiapkan berdampingan dengan cangkir alumunium dan tiga toples kopi. Tiga toples kopi ini mewakili tiga jenis kopi yakni natural, luwak dan wine.
 'Wine' Desa Cisadon. (CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari) |
"Wine itu namanya aja. Dulu pernah diprotes (dikira tidak halal), padahal mah nama aja itu," ujar Ujang terkekeh.
Dari kebun kopi sebesar 3 hektare, sudah dua tahun terakhir Ujang mengolah sendiri panen kopinya. Sebagian besar petani kopi Cisadon memilih menjual panen ke pengepul. Dia berkata petani menjual campur baik yang sudah merah, masih hijau, bahkan daun dan ranting pun bisa saja masuk ke karung-karung. Dalam kondisi 'kotor' seperti ini, pengepul akan memasok ke pabrik-pabrik kopi sachet.
Berkat pengetahuan dari peserta trekking maupun pegiat kopi yang singgah di desa, Ujang memperoleh pengetahuan tentang petik merah dan pengolahan pasca panen. Kini ia memanggang (roasting) sendiri kopinya dan jadilah kopi hasil olahan sendiri di bawah label 'Raja Wine'.
Selain kopi wine, natural, dan luwak, terdapat kopi lanang. Kopi lanang sebenarnya didapat dari tiga jenis kopi lain tetapi bentuk biji berbeda. Biji kopi lanang berukuran lebih kecil dan nyaris tanpa belahan. Disebut 'lanang' (laki-laki) karena diyakini mampu memberikan asupan kekuatan atau keperkasaan lebih pada kaum adam.
Secangkir kopi panas mampu menghangatkan tubuh sekaligus meredakan lelah setelah kurang lebih 3 jam trekking. Sejurus kemudian, halimun seperti berarak turun dan pekat menutup segala yang hijau di hadapan mata.
 Jamuan makan siang di rumah Ketua RT Desa Cisadon. (CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari) |
Saya seolah diberi kesempatan untuk khusyuk menikmati kopi tanpa distraksi. Tak ada bunyi-bunyian, tak ada dering pesan di ponsel, tak ada polusi. Di Desa Cisadon, Anda bakal merasa diasingkan dunia sebab tak ada sinyal operator telepon apalagi jaringan internet.
Akan tetapi, justru suasana ini menjadikan ngopi lebih nyaman. Secangkir kopi wine mampu menghadirkan rasa sedikit asam seperti wine umumnya. Tak perlu gula, ia cukup dinikmati apa adanya.
Kemudian sebagai 'gong', Ujang dan sang istri menjamu kami dengan hidangan sederhana. Nasi liwet, jengkol, tumis labu siam, telur dadar, juga ikan asin atau warga setempat menyebutnya 'asin'.
"Labu siam ni dulu makanan sehari-hari. Mana ada telur. Jalan bagus itu paling baru itungan bulan. Ada warung itu baru sekarang-sekarang ini. Kalau dulu ya nanem, labu siam, singkong, makan sama sambel, lalapan," katanya.
Menapak petilasan Prabu Siliwangi
Hingga sekitar pukul 14.00 saya memuaskan diri menikmati suasana. Bahkan sepanjang obrolan, saya menambah cangkir kopi kedua. Di sela waktu istirahat saya menyempatkan diri berkeliling dan melongok telaga di tengah desa. Di dekat telaga pun terdapat kolam ikan mas milik warga.
Sebelum makin sore, dengan berat hati kami pamit berpisah dengan hangat kopi dan nasi liwet. Sekitar 8 kilometer lagi harus ditempuh dan diawali dengan jalan setapak dikelilingi semak belukar.
Edo berkata kami akan melewati jalur berbeda dari jalur awal. Bisa dibilang, jalur ini akan memadukan jalur arah Curug Kencana, jalur Prabowo dan jalur arah Megamendung. Tidak seperti saat keberangkatan, permulaan perjalanan didominasi pematang sawah dan jalan setapak membelah hutan rakyat.
Sampai di area rumpun bambu, kami mengunjungi sebuah petilasan. Edo berkata ini merupakan petilasan Prabu Siliwangi. Warga setempat meyakini sang prabu dulu pernah menyambangi lokasi ini. Petilasan berupa batu yang diletakkan mirip nisan. Berjalan beberapa meter, terdapat tiga sumur.
"Warga ziarah ke sini saat perayaan Maulud Nabi. Bawa botol kosong kan? Buat ngisi air dari tiga sumur," jelas dia.
Tiga sumur letaknya berdekatan. Namun harus hati-hati karena bibir sumur sejajar dengan tanah pijakan sehingga ada risiko tergelincir. Air diyakini mampu membawa berkah. Edo menambahkan dulu sempat ada pengecekan air sumur di laboratorium dan membuktikan kalau air memiliki pH tinggi.
Tak perlu dimasak, air bisa langsung diminum. Menurut saya, air ini lebih enak dan menyegarkan daripada air kemasan di pasaran.
 Area petilasan. (CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari) |
Ketika lutung menggoda
Turun gunung memang lebih berat daripada naik gunung. Begitu pula dengan trekking kali ini. Langit yang sedari pagi menahan air, kemudian menumpahkan semuanya dalam perjalanan pulang. Dingin udara pegunungan dan dingin air bercampur jadi satu. Mau tidak mau jas hujan dikenakan demi melindungi tubuh dan barang bawaan.
Di antara rasa lelah, fokus tidak boleh goyah. Jalan makin licin dan tanah yang diinjak belum tentu keras dan stabil. Namun di antara tantangan itu, kepulangan saya seperti diiringi 'orkes' alam yang nyaring. Ada suara tonggeret, sejenis kumbang besar, campur suara air dan ternyata ada suara surili atau sejenis monyet.
Bertemu dengan mamalia satu ini termasuk keberuntungan. Samar-samar mereka tampak bergelantung dan melompat dari satu pohon ke pohon lain. Bulunya keabu-abuan dengan ekor panjang. Di ratus meter berikutnya kami menemukan kawanan lutung. Berbeda dengan surili, lutung memiliki bulu hitam dan tubuh lebih ramping.
Kawanan ini begitu lincah seperti mempecundangi kami yang berjalan pelan tertatih. Diam-diam saya mengucap syukur untuk segala sapaan apapun bentuknya. Hampir pukul 16.30 kami sampai di titik awal. Kaki harus diluruskan sembari duduk untuk menghindari risiko varises.
Ada terselip rasa bangga usai sekitar 16 kilometer perjalanan dengan pengalaman baru.