Hingga sekitar pukul 14.00 saya memuaskan diri menikmati suasana. Bahkan sepanjang obrolan, saya menambah cangkir kopi kedua. Di sela waktu istirahat saya menyempatkan diri berkeliling dan melongok telaga di tengah desa. Di dekat telaga pun terdapat kolam ikan mas milik warga.
Sebelum makin sore, dengan berat hati kami pamit berpisah dengan hangat kopi dan nasi liwet. Sekitar 8 kilometer lagi harus ditempuh dan diawali dengan jalan setapak dikelilingi semak belukar.
Edo berkata kami akan melewati jalur berbeda dari jalur awal. Bisa dibilang, jalur ini akan memadukan jalur arah Curug Kencana, jalur Prabowo dan jalur arah Megamendung. Tidak seperti saat keberangkatan, permulaan perjalanan didominasi pematang sawah dan jalan setapak membelah hutan rakyat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sampai di area rumpun bambu, kami mengunjungi sebuah petilasan. Edo berkata ini merupakan petilasan Prabu Siliwangi. Warga setempat meyakini sang prabu dulu pernah menyambangi lokasi ini. Petilasan berupa batu yang diletakkan mirip nisan. Berjalan beberapa meter, terdapat tiga sumur.
"Warga ziarah ke sini saat perayaan Maulud Nabi. Bawa botol kosong kan? Buat ngisi air dari tiga sumur," jelas dia.
Tiga sumur letaknya berdekatan. Namun harus hati-hati karena bibir sumur sejajar dengan tanah pijakan sehingga ada risiko tergelincir. Air diyakini mampu membawa berkah. Edo menambahkan dulu sempat ada pengecekan air sumur di laboratorium dan membuktikan kalau air memiliki pH tinggi.
Tak perlu dimasak, air bisa langsung diminum. Menurut saya, air ini lebih enak dan menyegarkan daripada air kemasan di pasaran.
![]() |
Turun gunung memang lebih berat daripada naik gunung. Begitu pula dengan trekking kali ini. Langit yang sedari pagi menahan air, kemudian menumpahkan semuanya dalam perjalanan pulang. Dingin udara pegunungan dan dingin air bercampur jadi satu. Mau tidak mau jas hujan dikenakan demi melindungi tubuh dan barang bawaan.
Di antara rasa lelah, fokus tidak boleh goyah. Jalan makin licin dan tanah yang diinjak belum tentu keras dan stabil. Namun di antara tantangan itu, kepulangan saya seperti diiringi 'orkes' alam yang nyaring. Ada suara tonggeret, sejenis kumbang besar, campur suara air dan ternyata ada suara surili atau sejenis monyet.
Bertemu dengan mamalia satu ini termasuk keberuntungan. Samar-samar mereka tampak bergelantung dan melompat dari satu pohon ke pohon lain. Bulunya keabu-abuan dengan ekor panjang. Di ratus meter berikutnya kami menemukan kawanan lutung. Berbeda dengan surili, lutung memiliki bulu hitam dan tubuh lebih ramping.
Kawanan ini begitu lincah seperti mempecundangi kami yang berjalan pelan tertatih. Diam-diam saya mengucap syukur untuk segala sapaan apapun bentuknya. Hampir pukul 16.30 kami sampai di titik awal. Kaki harus diluruskan sembari duduk untuk menghindari risiko varises.
Ada terselip rasa bangga usai sekitar 16 kilometer perjalanan dengan pengalaman baru.
(ard)