Halimun mulai tersibak sehingga saya bisa melihat pemandangan gunung dan bukit lebih jelas. Vegetasi sepanjang jalur perjalanan jadi makin jelas. Terselip pohon-pohon kopi nan tinggi di sisi kiri jalan. Pohon kopi berjenis robusta ini sudah berbuah meski masih hijau. Tak jarang kami pun menemukan bunga-bunga liar berwarna ungu di antara semak dan tumbuhan pakis.
Sayup-sayup terdengar suara aliran air. Rupanya ini merupakan rembesan dari mata air di bagian atas perbukitan. Saya menemukan aliran air seperti selokan di tepi kanan jalan atau tepat di bawah dinding tanah berlapis tumbuhan liar dan lumut. Airnya begitu jernih dan dingin saat menyentuh kaki.
Beberapa kali aliran air ini 'menyeberang' jalan yang kami lalui. Aliran kecil ada, pun aliran cukup besar ada. Ada pula yang tampak seperti miniatur curug dan leuwi atau air terjun dan kolam dalam bahasa setempat. Di beberapa titik, ternyata terpasang bilah bambu sehingga siapapun bisa memuaskan dahaga atau sekadar mencuci muka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Air segar dari pegunungan langsung. Bisa diminum kok Kak!" kata Uje.
![]() |
Air begitu dingin meski tanpa es batu kemudian ada sedikit rasa mirip tanah. Lumayan, air bisa menambah pasokan air di botol kami.Bagaimana rasanya?
Selain di miniatur curug maupun leuwi, istirahat pun dilakukan di badan jalan yang cukup datar. 'Bonus' kalau dalam istilah pendakian atau trekking termasuk di Pondok Pemburu, sebuah lokasi area kemah. Sekilas lokasi ini mirip padang rumput di serial Teletubbies.
Perlahan saya seperti membelah perkebunan kopi. Di kanan kiri jalan, pohon kopi seperti membentuk pagar alam. Kemudian terdapat pohon dengan papan bertuliskan 'Cisadon', bersebelahan dengan jalan menurun. Kurang dari 30 menit, tampak rumah-rumah beratap seng. Berjalan sekitar 50 meter, terdapat gapura sederhana dengan papan bertuliskan 'Selamat datang di Cisadon'. Ada rasa lega sekaligus bangga bisa menakhlukkan jalan sekaligus rasa lelah.
Jangan bayangkan perkampungan dengan rumah padat berdekatan. Di sini jarak satu rumah dengan rumah lain terbilang lumayan. Sebuah mushola berdiri tegak di tengah bagai tumpeng syukuran. Saya diarahkan untuk ke rumah Ujang Usman, ketua RT 4, Desa Cisadon. Tepat di pukul 10.46 kami sampai.
Ia mempersilakan kami untuk beristirahat sembari menikmati kopi. Termos-termos air panas disiapkan berdampingan dengan cangkir alumunium dan tiga toples kopi. Tiga toples kopi ini mewakili tiga jenis kopi yakni natural, luwak dan wine.
![]() |
"Wine itu namanya aja. Dulu pernah diprotes (dikira tidak halal), padahal mah nama aja itu," ujar Ujang terkekeh.
Dari kebun kopi sebesar 3 hektare, sudah dua tahun terakhir Ujang mengolah sendiri panen kopinya. Sebagian besar petani kopi Cisadon memilih menjual panen ke pengepul. Dia berkata petani menjual campur baik yang sudah merah, masih hijau, bahkan daun dan ranting pun bisa saja masuk ke karung-karung. Dalam kondisi 'kotor' seperti ini, pengepul akan memasok ke pabrik-pabrik kopi sachet.
Berkat pengetahuan dari peserta trekking maupun pegiat kopi yang singgah di desa, Ujang memperoleh pengetahuan tentang petik merah dan pengolahan pasca panen. Kini ia memanggang (roasting) sendiri kopinya dan jadilah kopi hasil olahan sendiri di bawah label 'Raja Wine'.
Selain kopi wine, natural, dan luwak, terdapat kopi lanang. Kopi lanang sebenarnya didapat dari tiga jenis kopi lain tetapi bentuk biji berbeda. Biji kopi lanang berukuran lebih kecil dan nyaris tanpa belahan. Disebut 'lanang' (laki-laki) karena diyakini mampu memberikan asupan kekuatan atau keperkasaan lebih pada kaum adam.
Secangkir kopi panas mampu menghangatkan tubuh sekaligus meredakan lelah setelah kurang lebih 3 jam trekking. Sejurus kemudian, halimun seperti berarak turun dan pekat menutup segala yang hijau di hadapan mata.
![]() |
Saya seolah diberi kesempatan untuk khusyuk menikmati kopi tanpa distraksi. Tak ada bunyi-bunyian, tak ada dering pesan di ponsel, tak ada polusi. Di Desa Cisadon, Anda bakal merasa diasingkan dunia sebab tak ada sinyal operator telepon apalagi jaringan internet.
Akan tetapi, justru suasana ini menjadikan ngopi lebih nyaman. Secangkir kopi wine mampu menghadirkan rasa sedikit asam seperti wine umumnya. Tak perlu gula, ia cukup dinikmati apa adanya.
Kemudian sebagai 'gong', Ujang dan sang istri menjamu kami dengan hidangan sederhana. Nasi liwet, jengkol, tumis labu siam, telur dadar, juga ikan asin atau warga setempat menyebutnya 'asin'.
"Labu siam ni dulu makanan sehari-hari. Mana ada telur. Jalan bagus itu paling baru itungan bulan. Ada warung itu baru sekarang-sekarang ini. Kalau dulu ya nanem, labu siam, singkong, makan sama sambel, lalapan," katanya.