Jakarta, CNN Indonesia --
Selasa, 30 Maret, jam 09.00 pagi, cuaca Jakarta masih saja gelap. Beberapa hari ini memang gerimis kerap kali datang. Tapi jika melihat langit, rasanya hari itu gerimis tak akan turun.
Akhirnya, saya putuskan untuk pergi ke Pasar Baru, salah satu tempat belanja dan kuliner yang tertua dan legendaris di Indonesia. Sebelum mal tumbuh bak jamur, warga Jakarta dan sekitarnya sangat senang berpelesir ke sini.
Tak ingin kesiangan, saya langsung bergegas ke stasiun Lenteng Agung untuk memesan tiket Commuter line (KRL) ke Statiun Juanda, stasiun terdekat dengan Pasar Baru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kurang lebih satu jam, KRL sudah tiba di Stasiun Juanda. Dari stasiun saya lanjut pesan ojek online agar cepat-cepat sampai di Pasar Baru.
Sekitar jam 10.00 WIB saya tiba di Pasar Baru. Belasan motor sudah berbaris di depan gerbang menyambut siapa saja yang akan masuk ke Pasar baru. Bagi pengendara motor, mereka bisa memarkirkan motornya di sana.
"Passer Baroe" tertulis jelas di gapura depan pintu masuknya yang besar. Secara historis Pasar Baru memang dulunya ditulis "Passer Baroe."
Pasar ini sudah ada sejak 1820. Saat itu, kebanyakan pembelinya adalah orang-orang Belanda yang tinggal di Rijswjik (sekarang Jalan Veteran).
Thrifting dan berburu kamera
Saat ini, Pasar Baru semakin diminati anak muda, terutama setelah thrifting alias belanja barang bekas menjadi tren.
Ada yang thrifting karena ingin mengurangi limbah fesyen yang menyumbang kerusakan lingkungan dunia. Ada juga yang ingin tetap gaya sembari menghemat dana.
Bagi pemburu pakaian bekas, Metro Atom Pasar Baru adalah salah satu destinasi belanjanya. Tempat ini bisa menjadi alternatif thrifting selain Pasar Senen.
Selain sesuaikan waktu dan dana, jangan lupa sesuaikan pakaian dan alas kaki saat datang ke sini, karena suhu di dalamnya bisa sangat gerah.
Dari pintu masuk, saya langsung naik menggunakan eskalator ke lantai tiga. Lokasi lapak penjual barang bekas di Metro Atom sendiri berada di lantai tiga dan empat.
Sesampainya di lantai tiga, rak baju dan celana bekas sudah terlihat dijajakan. Saya memutar badan ke semua arah, semua terisi penuh dengan pakaian!
 Metro Atom Pasar Baru. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Di atas raknya tertulis harga mulai dari Rp5000, Rp10 ribu, Rp35 ribu, dan seterusnya. Saya sempat tak percaya harga baju sama dengan tarif parkir motor di Pasar Baru sendiri.
"Ini Rp5000, mas?" tanya saya setengah tak percaya sambil menunjuk baju ke salah satu penjual.
"Iya," ucapnya.
Tak hanya baju dan celana saja, tapi ada juga berbagai jenis topi, tas dan sepatu dengan harga di bawah Rp100 ribu.
Naik ke lantai empat, di sana juga masih menjual barang bekas. Tapi di lantai ini tak seramai lantai tiga. Saya masuk ke salah satu toko 'Jhon Pasar Baru'. Sebab, toko ini paling banyak pengunjungnya.
Jhon, pemilik toko bercerita, tokonya ramai karena ia juga melakukan promosi di berbagai sosial media.
"Pengunjung pada tau dari Instagram sama Tik-tok," ucap Jhon saat ditemui.
 Metro Atom Pasar Baru. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Diakuinya, bisnis berjualan baju bekas selama pandemi cukup lumayan, sejalan dengan tren thrifting semakin viral di media sosial.
Sebulan ia bisa mengantongi Rp70-80 juta. Berkaca pada Ramadhan dan Lebaran tahun lalu, omzetnya bisa dua kali lipat.
"Omzetnya satu bulan dagang bisa untuk satu tahun," ujarnya.
Barang yang paling banyak diminati adalah crewneck dan hoodie. Sebab, kata Jhon kedua barang itu bisa dipakai olehwanitayang menggunakan kerudung maupun tidak. Crewneck ia banderol mulai dari harga Rp35 ribu sampai 130 ribu.
Setelah lebih dari satu jam menghabiskan waktu di Metro Atom, saya pergi ke gedung di seberangnya yaitu Harco.
Berbeda dengan Metro Atom, Harco lebih banyak menjual barang-barang elektronik dan alat-alat fotografi. Harco dikenal sebagai tempat buruan para fotografer.
Kamera digital, analog antik, dan aksesoris semuanya ada. Selain itu, beberapa kios juga menawarkan jasa reparasi kamera.
 Pasar Baru juga menjadi destinasi jual beli serta perbaikan kamera. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Bakmi Gang Kelinci
Tak terasa lebih dari dua jam saya menghabiskan waktu di dua tempat itu. Perut mulai menimbulkan kegaduhan seakan penuh teriakan 'lapar, lapar, lapar'.
Saya keluar menyusuri Pasar Baru dan belok ke gang kecil bernama Gang Kelinci. Hanya butuh berjalan kaki sekitar lima menit dari Harco, saya sudah sampai di tempat makan Bakmi Gang Kelinci.
Betul sekali, tempat makan ini merupakan awal mula restoran dengan nama sama yang kini banyak hadir di pusat perbelanjaan modern.
Restoran aslinya cukup luas. Semua kursi terisi penuh. Selama pandemi satu meja hanya boleh diisi oleh maksimal dua orang.
Menu makanannya beragam, ada belasan menu bakmi dan puluhan menu non bakmi. Saya pesan Bakmi Spesial.
Setelah saya cicipi betul saja rasanya sedap. Di bakmi itu ada topping ayam dan jamur. Saya aduk agar rasanya merata. Setelah saya coba lagi, rasanya semakin enak, apalagi disantap saat sedang lapar-laparnya.
Rasa kaldunya gurih, mungkin karena tercampur dengan kaldu jamur. Tekstur mie-nya juga tak terlalu lembek dan keras sehingga enak untuk dikunyah.
Untuk makan bakmi enak ini, uang yang dikeluarkan tak lebih dari Rp30 ribu.
 Bakmi Gang Kelinci. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Cakue Ko Atek
Sehabis makan Bakmi Gang Kelinci, rasanya sayang jika tak jajan yang lain di Pasar Baru. Tak jauh dari bakmi gang kelinci, saya membeli cakue yang terkenal paling enak di Pasar Baru yaitu Cakue Ko Atek.
Cakue Ko Atek ini sudah ada sejak 1971 dan berlokasi di Jalan Belakang Kongsi Nomor 31.
Selain cakue, ada juga kue bantal. Kedua makanan ini terasa lebih enak karena digoreng menggunakan minyak kelapa murni.
 Cakue Ko Atek. (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono) |
Restoran Tropic
Keluar dari Gang Kelinci, saya berjalan sekitar enam menit sampai ke depan restoran yang juga tak kalah legendaris.
'Tropic, Ice Cream Palace' tertulis di kaca restoran itu. Dari luar restoran itu tampak sepi, hanya ada beberapa remaja sedang menyantap es krim.
Saya pun masuk dan ikut memesan es krim. Es krim dari Restoran Tropic dianggap melegenda sebab sudah ada sejak tahun 1960-an dan masih diminati sampai sekarang.
Saya mencoba rasa green tea dan tiramisu. Rasanya manis, apalagi ditambah topping waffel yang juga manis. Bagi orang yang suka manis, es krim ini cocok. Selain itu juga menyegarkan.
 Restoran Tropic. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Toko Sepatu Sin Lie Seng
Hampir saja terlewatkan, toko sepatu legendaris di Pasar Baru yaitu Sin Lie Seng. Meski tertulis sejak 1943, sesungguhnya toko ini sudah ada sejak tahun 1920-an.
Toni Cahyadi, pemilik generasi ketiga Sin Lie Seng bercerita, tahun 1920-an kakeknya masih menyewa bangunan untuk berdagang dan baru bisa membelinya tahun 1943. Oleh sebab itu yang ditulis di kemasan-kemasan produknya tahun 1943.
Dari mulai awal berdiri sampai sekarang toko sepatu miliknya tak pernah sepi. Sekalipun disergap pandemi. Para pelanggannya dari Sabang sampai Meraoke tetap membeli produknya lewat daring.
Produk andalan Sin Lie Seng adalah sepatu kulit. Mulai dari Haji Lulung, Fauzi Bowo, sampai Soesilo Bambang Yudhoyono berlangganan sepatu kulit buatannya.
Bahkan, dulu, kata Toni, Presiden Soekarno juga merupakan salah satu pelanggan setia.
 Toko Sepatu Sin Lie Seng. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Sin Lie seng banyak diminati sebab bahan yang dipakai di keseluruhan sepatu adalah kulit sapi asli.
"Ini sampai dalam juga kulit sapi semua," ucap Toni.
Toni bercerita, rahasia sepatunya tetap eksis puluhan tahun. Baginya, mempunyai toko sepatu bukan hanya menjual tapi harus mengerti dan menjadi 'tukang' sepatu. Ia memastikan setiap detail dan kualitas dari sepatu yang diproduksinya.
Dengan kualitas yang tidak 'ecek-ecek'. Harga yang ia jual pun cukup terjangkau yaitu kisaran Rp400-700 ribu saja.
Selain itu, rahasia lainnya adalah bergerak mengikuti zaman. Sebagaimana makna dari Sin Lie Seng. Sin berarti baru, Lie berarti inovasi dan Seng berarti selalu menang.
Di toko ini, berbagai jenis sepatu kulit ada, mulai dari pantofel formal, sneakers, sampai sepatu koboi ada.
Jam di handphone sudah menunjukkan pukul 17.00 sore, meski ingin berlama-lama melihat-lihat sepatu Sin Lie Seng, saya harus menyudahinya.
Semua toko di Pasar Baru harus tutup sebelum pukul 18.00 malam. Saya baru sadar, ternyata mengubek-ubek Pasar Baru sehari pun masih tak cukup.