Hemofilia bukan penyakit yang dapat disembuhkan. Tindakan profilaksis menjadi sangat penting bagi pasien hemofilia untuk mencegah pendarahan lebih lanjut.
Profilaksis sendiri merupakan tindakan untuk menjaga kesehatan dan mencegah penyebaran penyakit. Dalam kasus hemofilia, profilaksis berarti mencegah terjadinya pendarahan.
Dalam studi yang diterbitkan di Sari Pediatri (2010), profilaksis pada pasien hemofilia berat bisa dilakukan dengan pemberian konsentrat faktor pembekuan 2-3 kali per minggu untuk mencegah timbulnya pendarahan. Beberapa studi menunjukkan, profilaksis akan mencegah pendarahan dan kerusakan sendi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dokter spesialis anak yang menangani pasien hemofilia, Novie A Chozie, mengatakan bahwa profilaksis memberikan keuntungan lebih dibanding terapi on demand. On demand berarti terapi yang diberikan saat terjadi pendarahan, bengkak pada persendian, atau timbul lebam pada anggota tubuh.
"Pasien bengkak, harus disuntik obat beberapa kali, bisa 3-4 kali. Kalau profilaksis, sekali suntik. Dalam seminggu bisa dua kali," ujar Novie, dalam webinar World Hemophilia Day, beberapa waktu lalu.
Selain itu, penyuntikan berulang untuk menghilangkan bengkak saat terapi on demand juga berisiko menimbulkan kecacatan. "Bisa terjadi kecacatan, sehingga anaknya enggak bisa jalan. Tentunya ini sangat tidak kita harapkan," tambah Novie.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI), Profesor Djajadiman Gatot mengatakan bahwa penerapan profilaksis diutamakan pada pasien hemofilia anak.
Anak masih terbilang aktif bergerak dan kontrol atas dirinya belum sebaik mereka yang berusia dewasa. Profilaksis, ujar Djaja, akan mencegah anak mengalami pendarahan berat.
"Ini [profilaksis] demi mempertahankan sendi anak tetap baik, kualitas hidup baik," ujar Djadja.
Hemofilia sendiri merupakan gangguan pembekuan darah akibat kekurangan faktor VII dan IX. Pada pasien hemofilia, setiap pendarahan akan berlangsung lebih lama. Hal ini terjadi karena kurangnya protein yang membuat darah sukar membeku.
Hingga saat ini, ada sekitar 2.500 penyandang hemofilia di Indonesia. Namun, Djadja menduga bahwa jumlah pasti akan lebih dari angka tersebut karena minimnya kemampuan mendeteksi atau mendiagnosis hemofilia.
"Banyak yang tidak terdeteksi. Ini salah satu kendala kita. Secara angka kejadian, mestinya kita banyak," kata Djaja.
(els/asr)