Merantau di Tengah Kehangatan Suriah
Ada yang berbeda dengan Ramadan di Suriah tahun ini. Suara anak-anak kecil yang bermain di luar rumah sudah terdengar lagi. Bahkan hingga usai waktu berbuka puasa. Orang yang keliling membangunkan sahur juga telah muncul lagi.
Sebelumnya suara bocah-bocah ini sempat hilang pada tahun 2013, ketika konflik bersenjata ISIS mulai berkecamuk di Suriah. Ketika itu pula saya baru dua tahun menjejakan kaki di Damaskus.
Menempuh pendidikan di luar negeri, khususnya di negara Arab, sudah lama menjadi impian saya. Ketika itu cita-cita saya kuliah di Universitas Al Azhar Kairo, terinspirasi dari salah satu guru SMA saya.
Tapi di tahun saya ingin mengajukan beasiswa, Mesir sedang dilanda konflik. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengambil beasiswa di Suriah, yang sebelumnya ditujukan bagi kerabat saya namun ia berhalangan karena juga akan wisuda di Indonesia.
Tahun 2011 akhir saya menginjakkan kaki di Damaskus, Suriah. Pelajar dari luar negeri tak langsung kuliah, karena kami harus les bahasa Arab dulu, yang notabene merupakan bahasa sehari-hari penduduk di negara ini.
Sebagian dari kami ada yang setahun setelah lulus sekolah bahasa langsung kuliah. Ada yang dua tahun bahkan lebih seperti saya, yang notabenenya bukan dari pondok (aliyah).
Kehidupan di Damaskus pada dua tahun pertama sungguh menyenangkan. Saya banyak punya teman baru warga lokal, sebagian besar bertemu di kampus atau masjid.
Momen Ramadan sebelum perang berkecamuk menjadi momen yang paling saya kenang selama tinggal di Suriah. Masjid menjadi tempat yang menyenangkan, rasanya seperti bertemu keluarga besar.
Pelajar sangat diperhatikan dan disayang disini. Contohnya pernah saya dan teman sekamar salat di Masjid Sholahuddin Al Ayyubi, salah satu masjid yang cukup besar di daerah Ruknuddin, Asaduddin Damaskus.
Setelah salat, jamaah yang berduit biasanya royal memberikan uang yang diawali dengan sapaan, obrolan hingga salam tempel perpisahan.
Karena saking seringnya menerima itu sampai sampai kita hapal berapa uang yang masuk masuk dalam genggaman. kadang 500 Lyra (10 USD, sekitar 100 ribuan pada tahun itu) dan kadang lebih.
Ada satu kisah menarik yang di mana saya pernah menolak pemberian itu. Mungkin karena kecewa hingga penasarannya, laki paruh baya itu mengikuti saya sampai dekat rumah.
"Kamu tidak boleh menolaknya," pintanya memasukkan sesuatu di kantong celana saya. 3.000 Lyra. Dan itulah tauzi (pemberian) terbesar yang pernah saya terima.
Pernah juga saat sebagian teman-teman salat Tarawih di Masjid Al Umayyad Damaskus, salah satu masjid terbesar di Suriah. Sehabis salat, jamaah yang berduit biasanya royal membagikan makanan atau uang kepada jamaah lain.
Kadang ada yang sampai memberi sedekah sebesar 500 lira (sekitar Rp 100 ribu pada tahun itu). Sebagai pelajar yang kantongnya pas-pasan, teman-teman tentu sangat senang bisa pulang ke rumah sambil membawa besek.
Selain masjid, momen Ramadan yang hangat juga terasa di pasar atau tamannya. Di sini ada lebih banyak dermawan. Bukan hanya orang kaya, tapi juga para pedagangnya.
Mungkin muka-muka pelajar yang polos membuat hati mereka luluh, karena itu mereka sering memberikan diskon. Kalau mengaku kekurangan uang, mereka juga kadang membolehkan pelajar berhutang, atau malah bawa pulang barang yang dibeli dengan gratis.
"Cukup doakan saya," kata mereka sambil tersenyum saat kita mengucapkan terima kasih.
Saya amati, perilaku senang memberi ini sepertinya menjadi karakter sebagian besar penduduk Suriah. Baik yang sultan atau rakyat, semuanya senang membantu orang.
Pernah suatu hari saya naik taksi, dan saat hendak membayar saya kesulitan mencari dompet yang menyelip di tas. Sang supir taksi mungkin mengira saya tak punya uang.
"Tidak usah membayar, cukup doakan saya," ujar sang supir taksi. Saya hanya tersenyum lalu menyerahkan uang kepadanya.