London, CNN Indonesia --
Sudah hampir lima tahun saya bermukim di Inggris, tepatnya di kota London. Saya bisa merantau di negara ini setelah diterima bekerja sebagai salah satu konsultan di sebuah perusahaan.
Kalau ditanya bagaimana rasanya sebagai seorang perempuan yang merantau, saya tak punya jawaban lugas. Tapi rasanya setiap perempuan yang merantau seorang diri, baik di dalam maupun di luar negeri, patut diberikan tanda salut, karena mereka punya keberanian lebih.
Dari awal memutuskan merantau, sebenarnya orang tua agak khawatir. Belum pernah juga ada anggota keluarga saya yang tinggal di luar negeri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi setelah diskusi panjang, terutama dengan argumen jumlah gaji lumayan yang bisa ditabung untuk menikmati hari tua di Indonesia, mereka mengizinkan saya merantau.
Kadang setiap telepon atau panggilan video, ibu saya suka terasa menahan tangis. Katanya kangen melihat anak perempuan bontotnya makan nasi, sayur asem, ikan asin, petai, daun pohpohan, dan sambal gandaria dengan lahapnya.
Pertanyaan ibu juga sering terkait soal masuk angin dan udara dingin, karena saya punya sinusitis. Kalau perlu saya keluar rumah setelah mengguyur badan dengan minyak kayu putih lalu pakai selimut, katanya.
Menjawab pertanyaannya dengan kalimat-kalimat yang manis mungkin menjadi salah satu cara saya menenangkan ibu.
"Iya bu, aku sehat... Aku masih punya uang, gak perlu kirim lagi... Aku makan enak tadi... Udaranya gak terlalu dingin kok hari ini..." begitulah kira-kira tipe jawaban manis saya. Padahal kenyataannya hidup merantau kadang terasa pahit.
Bertemu teman baru
Sejak hari pertama menjejakkan kaki di Bandara Heathrow, saya berusaha tak banyak berekspektasi hidup akan selalu indah dan membahagiakan. Saya cenderung berpikir kalau kesialan bisa datang tak terduga, sehingga saya harus punya rencana A, B, C dan seterusnya untuk bertahan hidup.
Dan tak mengejutkan, kesialan datang ke saya di hari pertama, karena saya salah naik kereta menuju apartemen saya di kawasan South Bank.
Jam sudah menunjukkan hampir pukul 9 malam di hari Selasa, yang berarti stasiun kereta bakal lebih sepi dari warga maupun turis. Hawa dingin menampar dan menusuk kulit, karena saya lupa mengeluarkan jaket yang ada di koper. Telapak tangan dan kaki mulai terasa dingin, tanda saya gugup. Yang saya ingat, malam itu saya terdampar di stasiun kawasan Lewisham.
Karena panik, saya tak mampu membaca peta rute kereta dengan jelas. Saya juga khawatir tak bisa mengisi ulang kartu kereta yang mungkin saldonya sudah menipis.
Dengan satu koper besar dan tas punggung, saya hanya pasrah duduk di pinggir peron, berharap ada petugas stasiun yang bisa saya temui. Nyatanya, hanya ada seekor tikus gendut yang lewat dengan sepotong kecil bagel di mulutnya.
Ketika sudut mata sudah mulai tergenang, saya melihat seorang perempuan cantik berkulit putih yang berjalan ke arah tempat duduk peron. Di belakangnya ada tiga pria yang juga berjalan ke arah yang sama. Mata saya dan sang perempuan saling bertatapan, dan seketika ia langsung tersenyum lalu mempercepat langkahnya ke tempat saya duduk.
"Apakah kita bisa pura-pura berteman? Mereka sepertinya mengikuti saya dari luar stasiun," katanya dengan suara pelan saat sudah duduk di sebelah saya.
Di tengah rasa sedih karena terdampar di stasiun antarberantah, otak saya langsung berusaha mengartikan maksudnya ke dalam bahasa Indonesia dan melontarkan jawaban dalam bahasa Inggris.
"Oh oke, kita bisa pura-pura berbincang," jawab saya berusaha santai.
Tak lama tiga pria itu melewati kami dan duduk menjauh. Gemuruh kereta terdengar dari kejauhan, yang menandakan sebentar lagi ada kereta yang berhenti di stasiun itu. Pengumuman juga terdengar.
Saya menoleh ke teman baru saya, namun ia menggelengkan kepala, memberi isyarat untuk membiarkan tiga pria itu naik kereta lebih dulu. Saya hanya bisa mengiyakan, mungkin insting sesama wanita yang ingin saling melindungi.
Setelah kereta itu melaju meninggalkan stasiun, saya bisa melihat ia bernapas lega. Lalu kami tertawa-tawa atas kejadian itu, dan ia berulang kali mengucapkan terima kasih kepada saya. Kami lalu berkenalan.
"Kamu baru datang atau akan pergi?" tanyanya saat melihat barang bawaan saya yang serba besar.
"Saya baru datang dari Indonesia dan nyasar," jawab saya sedih.
"Selamat, kamu sudah ada di level satu Londoners!" katanya sambil tertawa.
Ia lalu menjelaskan soal kereta yang harus saya tumpangi untuk sampai ke South Bank. Ternyata rumahnya tak jauh dari apartemen saya, hanya berbeda sekitar lima blok.
"Jangan takut, kita akan naik kereta yang sama. Saya meminta pacar saya menunggu kita di stasiun, lalu kami akan mengantarkan kamu sampai ke jalanan yang ramai," katanya sambil tersenyum.
Kereta yang ditunggu tak lama datang dan kami naik. Di sepanjang perjalanan kami banyak berbincang, ia dan pacarnya ternyata hobi wisata tapi belum pernah ke Indonesia. Katanya, Bali amat populer di kalangan penduduk Inggris yang gemar backpacking. Rasanya belum sah jadi backpacker kalau belum mengunjungi Kuta, Khao San Road (Thailand), dan Kathmandu (Nepal), atau yang disingkat 3K.
Setelah hampir setengah jam perjalanan, kereta kami sampai di stasiun South Bank. Benar saja, pacarnya sudah menunggu di pintu keluar stasiun. Ia langsung mengenalkan saya dan berkisah soal pengalaman menegangkan di stasiun Lewisham. Kami kembali tertawa-tawa.
Maksud hati ingin jalan kaki sampai apartemen, akhirnya sang pacar mentraktir saya naik taksi hitam, karena katanya barang bawaan saya terlihat berat.
"Tidak apa-apa, saya punya tabungan khusus untuk naik Black Cab ini. Lagi pula kamu sudah menolong pacar saya, jadi sekarang gantian kami yang menolong kamu," katanya sambil berseloroh.
Tak sulit mencari taksi hitam di stasiun, asal siap mengeluarkan uang lebih. Naik taksi di sini memang seperti kemewahan yang jarang bisa dinikmati oleh warga kotanya sendiri.
Dari dalam taksi hitam itu saya melihat lampu-lampu jalanan yang bersinar kuning temaram dan gedung-gedung tua berdinding batu bata. Air mata takut menjadi air mata haru. Bu, anak bontotmu sampai di London!
"Baiklah, itu apartemen kamu. Kamu bisa turun di sini lalu menyeberang. Tak perlu takut, jalanannya masih ramai dan terang kok. Ini nomor HP saya, kalau sempat kita makan siang atau ke pub ya!" kata sang perempuan. Setelah saling berpelukan dan melambaikan tangan, kaki saya melangkah ke arah apartemen.
Sesampainya di unit, saya tak kuasa menahan tangis, membiarkan air mata berurai hampir 20 menit, sebelum membereskan ingus lalu menelepon ibu, mengabarkan kalau anaknya baik-baik saja sesampainya di perantauan.
"Sudah sampai London kamu? Jam berapa di sana? Itu rendang jangan lupa masuk ke kulkas, bikin nasi dulu sebelum mandi jadi bisa langsung makan, bla bla bla bla...." ibu saya berceloteh panjang lebar di ujung telepon. Saya hanya tersenyum mendengar suara ibu. Rasanya lega sekali bisa kembali mendengar kecerewetannya setelah kejadian malam itu.
Sarah Everard dan isu keselamatan perempuan
Urusan salah kereta atau salah stasiun bukan hanya sekali saya alami. Tapi pengalaman tersebut membuat saya jadi lebih teliti untuk membaca rute kereta, terutama saat harus berangkat ke tempat yang bukan destinasi turis dan sepi.
Jalan kaki atau naik transportasi umum di kota London sebenarnya tak berbeda dengan di Jakarta, sama-sama harus mawas diri dengan tindak kriminal yang bisa saja terjadi, seperti kasus pencopetan.
Tapi sejak kasus Sarah Everard yang ramai diberitakan, kini kaum perempuan di kota London yang sering pulang malam seorang diri jadi lebih ekstra hati-hati.
Yang melegakan, semakin banyak kaum pria yang tergerak untuk memulai tindakan perlindungan, setelah sebuah cuitan di Twitter dengan tema 'apa yang bisa dilakukan laki-laki untuk melindungi wanita?' viral di internet.
Beruntungnya saya dikelilingi teman dan rekan kerja pria yang santun. Jauh sebelum kasus Everard terjadi, mereka sering menawarkan diri untuk berjalan kaki bersama hingga blok terdekat ke apartemen saya.
Kini saya dan teman-teman perempuan saya yang lain juga sering diminta mengabari mereka kalau hendak keluar rumah untuk bepergian dalam jarak jauh, terutama saat malam hari dan sedang seorang diri.
Setiap hari saya berdoa semoga tidak ada kejadian buruk yang menimpa saya selama merantau sendirian. Setiap hari juga saya berdoa agar bisa pulang ke rumah dengan selamat, sehingga saya masih bisa berbincang dengan ibu dan mengusir rasa khawatirnya di Tanah Air.
---
Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Tulisan yang dikirim minimal 1.000 kata dan dilengkapi minimal tiga foto berkualitas baik yang berhubungan dengan cerita. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, silakan hubungi [email protected]