Keramaian kota Damaskus mendadak senyap pada tahun 2013. Ketika itu ISIS mulai melakukan aksinya di desa-desa sekitar Suriah, hingga akhirnya merangsek ke tepi kota.
Jarak antara tepi kota dan pusat kota Damaskus tidaklah jauh. Jadi tentu saja saya akrab dengan bunyi tembakan dan baling-baling helikopter. Terkadang ada selongsong mortir yang jatuh dekat rumah. Beberapa kali juga sempat terjadi kasus bom mobil.
Aktivitas penghuni kota Damaskus juga dibatasi. Sekolah, kantor, pusat kantor, sampai tempat ibadah dibuka terbatas. Diberlakukan juga pos pengecekan dan jam malam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya ingat betul saat itu datang bulan Ramadan. Kami biasa salat Tarawih 20 rakaat di Masjid Hammu Laila (salah satu masjid terdekat dengan kos-kosan). Karena saking gentingnya keadaan saat itu (demo di sekitar masjid) kami lalu memangkasnya mejadi 8 dan melanjutkannya di rumah.
Takut? Sudah pasti. Tapi yang saya bisa saya lakukan hanyalah menjaga diri sambil terus berdoa kepada Allah SWT. Dari yang tidak bisa tidur kala malam, hingga akhirnya saya berpasrah diri kepada Tuhan: kalau memang sudah ajalnya, ya sudah.
Kalau ada yang bertanya mengapa saya tidak pulang ke Indonesia, sebenarnya saya punya pilihan itu. KBRI Damaskus sempat membuka penerbangan repatriasi bagi WNI yang sebagian besar menjadi pelajar dan TKI di Suriah.
Tapi saya berpikir sangat tanggung, sudah kuliah dua tahun di sini, dan jika saya pulang ke Indonesia, terlebih lagi belum ada penjelasan lebih lanjut dari pemerintah terkait pendidikan kita lebih lanjut ketika pulang, misalnya memberikan beasiswa dengan cara pindah ke kampus di Indonesia sebagai gantinya.
Walau suasana kota lebih sepi, tapi kehangatan penduduk Suriah tetap terasa. Pemilik toko sembako dekat tempat saya tinggal selalu mengingatkan saya untuk menyetok kebutuhan pokok sebelum akhir pekan.
"Kamu harus belanja sekarang, karena Jumat sampai Minggu pertokoan tutup. Kalau sedang tidak punya uang, bawa saja dulu," ujar si pemilik toko.
Perhatian yang sama juga saya rasakan dari pemilik rumah yang saya sewa.
"Kalau kamu takut, kamu bisa mengungsi bersama kami. Di rumah kami ada gudang bawah tanah untuk berlindung," katanya.
Alhamdulillah saya bisa menjalani kehidupan di Suriah meski perang berkobar. Bahkan, 2016 saya yang saat itu menjabat sebagai Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) sempat menjadi koordinator untuk melakukan aksi penggalangan dana sekaligus penyaluran donasi dari PPI Dunia untuk masyarakat WNI dan korban perang melalui lembaga lembaga kredibel seperti Jam'iyyah I'faf Al khoiriyyah yang menampung ribuan janda dan anak-anak yatim.
Saat situasi mulai kondusif, bersama teman-teman PPI Suriah saya sempat mengunjungi Aleppo, kota yang paling terdampak perang. Sedihnya tak terkira, karena hampir seluruh bangunan rusak.
Gerbang Aleppo, yang menjadi saksi bisu perkembangan kerajaan Arab sampai Roma, kini menjadi saksi bisu betapa konflik merusak peradaban di sana.
![]() |
Saya amat rindu dengan suasana Suriah sebelum perang. Berbeda dengan berita atau foto bertema "kekumuhan" yang banyak ditampilkan media, Suriah sejatinya adalah negara yang berkembang. Kehidupan modern juga ada di sini.
Suriah juga yang saya rasa amat jarang terjadi kasus SARA. Tak pernah ada keributan soal perbedaan suku atau agama di sini.
Saat Ramadan dan Lebaran, kaum non-Muslim akan tetap membantu membagikan makanan kepada kaum musafir atau datang saat diundang tetangganya makan-makan bahkan tentara non-Muslim menjaga masjid-masjid yang sedang melaksanakan salat Idul Fitri. Begitu juga sebaliknya saat Natal, kaum Muslim ikut melihat karnavalnya di jalan.
Jadi saat melihat pemandangan ada kawasan yang hancur akibat perang, hati saya jadi ikut hancur. Membayangkan ada banyak keluarga yang mungkin kehilangan anggota keluarganya, atau keluarga yang tak lagi punya rumah dan kini tinggal di pengungsian.
Suriah sebelum perang juga merupakan negara yang bisa saya bilang paling jarang penampakan pengemisnya. Sekarang, banyak yang mengemis di pinggir jalan, terutama anak-anak kecil.
Saya pernah dikerubuti karena memberikan uang ke salah satu dari mereka. Tapi penduduk Suriah langsung membantu mengusir mereka yang mengelilingi saya.
Sepertinya meminta-minta bukan budaya mereka, apalagi kepada pendatang. Karena sang penduduk Suriah itu merasa malu saya dikerubuti pengemis, akhirnya ia mengundang saya untuk minum teh di rumahnya. Ini juga menjadi salah satu bukti tentang akhlak mulia para penduduk Suriah.
Terakhir pulang ke Indonesia pada 2018, saat ini saya masih belum punya rencana mudik lagi, terutama karena pembatasan perjalanan akibat pandemi virus Corona. Walau jauh dari keluarga, tapi Suriah nyatanya tetap memberi saya kehangatan selayaknya keluarga kedua.
(ard)