Pernah juga sekali waktu saya diam-diam mencuri jatah dinas keluar kota untuk mengikuti acara buka bersama di Bandung. Kebetulan sekali, kala itu, tahun 2016, saya mendapat tugas dinas ke Bogor. Jadwal tugas yang tadinya hanya tiga hari, sengaja saya perpanjang menjadi lima hari dengan berbagai alasan. Dua hari sisanya saya gunakan untuk melesat sekejap ke Bandung untuk mengikuti acara buka bersama.
Selepas Magrib itu orang-orang berkumpul di lapangan karet-salah satu spot favorit semasa SMA-menikmati sisa menu berbuka puasa ditemani sajian musik santai serta angin yang berembus dari kibasan dedaunan dan ranting pohon di sekitarnya. Seperti biasanya, suasana terasa hangat.
"Astaga, Erin. Kamu datang, toh, akhirnya? Bukannya kamu ada kerjaan kantor di Bogor, ya?" tanya seorang teman, Melan, menyambut. Saya lalu menjawabnya dengan cengengesan, seolah memberi kode, kamu tentu tahu mengapa saya tetap keukeuh datang ke sini. Dia membalasnya dengan gelengan kepala. "Tuh, orangnya di sana," ujar Melan sambil menunjuk ke arah pria yang sedang duduk di salah satu pojokan. Itu dia, Anu!
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat juga:'Saya Seorang Janda, Lalu Kenapa?' |
Anu tak sendiri. Di sampingnya ada seorang perempuan cantik menemani. Perempuan itu terlihat begitu ceria, melemparkan senyum merekah pada siapa pun yang menyapanya, sangat berbanding terbalik dengan Anu yang selalu dingin dan bahkan tak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya.
"Gosipnya, sih, menurut anak-anak, itu calon istrinya. Hahaha," ujar Melan sambil tertawa terbahak-bahak, mengejek. Saya melengos, mengalihkan pandangan pada Anu. Diam-diam saya membayangkan bahwa laki-laki yang wajahnya begitu saya puja akan bersanding di pelaminan bersama perempuan pilihannya. Senyum tipis pun keluar dari wajah saya. Ada sedikit rasa kesal, ada juga rasa senang.
Momen buka bersama kali itu menjadi yang pertama bagi saya melihat Anu bersama seorang perempuan. Lengkap dengan kabar bahwa perempuan itu kelak akan menjadi istrinya.
Saya mencoba memberanikan diri berjalan ke arah Anu. Tidak untuk menyapanya, tapi sekadar ingin bertegur sapa dengan seorang teman, Banon, yang kebetulan sedang berbincang bersama Anu. Hmm.. Oke, saya akui, Banon hanya-lah alasan belaka agar saya bisa memandang Anu lebih dekat.
![]() |
"Akang Banon, kamana wae?" sapa saya sambil menyengir lebar. Sesungguhnya aksi nyengir ini hanya cara saya untuk menutupi betapa degdegan-nya saya kala itu. Jantung berdetak kencang saat saya berada percis di dekat Anu. Semoga saja tak ada yang menyadari rona merah pada pipi saya.
Pelan-pelan saya melirik ke arah Anu. Melemparkan senyum kecil sambil pura-pura tak tahu kalau Banon sedang berbincang dengannya.
Tak ada yang berubah dari wajahnya. Matanya masih saja dingin seperti kristal es yang kokoh, tak tergoda sedikit pun dengan suhu panas yang membuatnya meleleh. Mata itu memilih untuk tetap dingin membeku. Selalu menenangkan. Yang berubah hanya-lah kehadiran seorang perempuan di sampingnya.
Pelan-pelan Anu mengisap rokoknya, dengan pandangan yang tetap lurus ke depan, seolah tak ada saya, ataupun Banon, atau juga si calon istri yang duduk manis di sampingnya. Asap yang keluar dari mulutnya mengepul bergerak perlahan ke atas, meliuk-liuk bersama udara. Tapi, sorot matanya, tetap mengarah ke depan, tanpa beban.
Waktu terus berjalan. Momen demi momen buka bersama saya ikuti demi menengok Anu. Hanya sekali waktu saya absen dari acara buka bersama. Tahun 2018, saat itu saya tengah berjuang antara hidup dan mati, menunggu kelahiran si buah hati di rumah sakit, menikmati pembukaan demi pembukaan.
Kami bertemu lagi di tahun 2019. Kala itu, Anu datang bersama perempuan yang sama, yang saat itu telah sah menjadi istrinya. Sorot mata yang menenangkan itu tampak sedang berbahagia. Hidup Anu mungkin berubah setelah bertemu teman sehidup sematinya. Mungkin saja.
Sementara saya datang lengkap satu paket bersama suami dan si kecil yang baru menginjak usia 1 tahun. Saya datang untuk memperkenalkan keluarga kecil ini pada teman-teman semasa SMA, sekaligus juga tentu untuk menengok Anu.
"Yang mana, sih, yang namanya Anu?" tanya suami saya.
"Itu, yang itu, tuh," jawab saya sambil melempar mata ke arah Anu.
Kini, dua tahun sudah pandemi membuat saya absen menengok wajah Anu di bulan Ramadan. Semoga hanya untuk sementara waktu, agar di tahun-tahun berikutnya saya bisa kembali menengok wajahnya yang selalu dingin dan menenangkan.
(asr)