Warga Suku Badui Dalam pada hari Jumat (21/5) dan Sabtu (22/5) terlihat berjalan kaki untuk merayakan tradisi upacara Seba bersama "Ibu gede" Bupati Lebak Iti Octavia dan "Bapak gede" Gubernur Banten Wahidin Halim.
Warga Badui Dalam berjalan kaki pulang pergi menempuh perjalanan sepanjang 160 kilometer dari Rangkasbitung-Petir-Serang.
Perjalanan itu tentu cukup berat, karena menembus kawasan hutan Gunung Kendeng dan perbukitan yang curam dan membahayakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Warga Badui Dalam berjalan kaki di kegelapan dini hari tanpa penerangan. Semuanya ditempuh karena kepatuhan mereka pada tradsi Seba yang dilaksanakan secara turun temurun.
Ditambah lagi mereka harus melintasi jalan raya dan rawan terjadi kecelakaan lalu lintas.
Meski demikian, warga Badui Dalam merasa senang dan bahagia bisa silaturahmi bersama kepala daerah.
"Kami wajib melaksanakan tradisi Seba karena titipan dari leluhur itu. " kata Ayah Arina wakil Jaro Tangtu Badui Dalam Perwakilan Kampung Cikawartana.
Pelaksanaan tradisi Seba bagi masyarakat Badui Dalam maupun Badui Luar hukumnya wajib dilaksanakan, meski dilanda pandemi COVID-19.
Sebab, kata dia, jika tidak dilaksanakan khawatir kualat yang bisa menimbulkan malapetaka bencana alam, seperti banjir, kekeringan hingga longsor.
Warga Badui setiap tahun menggelar tradisi Seba untuk menyerahkan hasil bumi seperti pisang, talas, beras huma, gula merah dan aneka kuliner lainnya, untuk kepala daerah setempat.
Penyerahan hasil bumi itu merupakan bentuk syukur masyarakat Badui selama setahun dari hasil pertanian ladang.
Tradisi Seba, kata dia, digelar setiap tutup bulan pada awal tahun Kalender Badui bulan Safar ke-lima, namun perayaan Seba sejak dua tahun terakhir tertutup karena adanya pandemi Corona.
"Kami merasa bersyukur bisa melaksanakan Seba dan berharap kehidupan warga Badui lebih sejahtera," ujarnya.
Tetua Badui yang juga Kepala Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak, Djaro Saidja, mengatakan pelaksanaan tradisi Seba tahun 2021 terbatas dan tertutup akibat dampak pandemi COVID-19.
Pesertanya sebanyak 20 orang, terdiri dari tujuh orang Badui Dalam dan 13 orang perwakilan Badui Luar.
Padahal, katanya, semestinya tahun ini pelaksanaan Seba Gede yang jumlah pesertanya mencapai 2.000 orang dari tujuh orang perwakilan Badui Dalam, antara lain Kampung Cibeo sebanyak tiga orang, Kampung Cikawartana dua orang dan Kampung Cikeusik dua orang.
Mengenai jalan kaki ratusan kilometer, ia menjelaskan kalau warga Badui Dalam memang dilarang menggunakan kendaraan. Aturan tersebut masih ditaati hingga saat ini. Apabila ada warga yang diketahui menggunakan angkutan, pelaku dikenakan sanksi adat.
Pelaksanaan Seba dilakukan Jumat sore (21/5) bersama Bupati Lebak, dan baru pada Sabtu malam (22/5) bersama Gubernur Banten.
"Kami sebagai kepala desa masyarakat Badui tentu merasa bahagia bisa melakukan Seba di tengah pandemi COVID-19, dengan kesederhanaan," ujarnya.
"Yang penting Seba itu dapat dilakukan, karena untuk menjalin silaturahmi dengan pemangku negara juga titipan leluhur," lanjutnya.
Di selama tradisi Seba juga dilakukan doa bersama agar Indonesia agar terbebas dari penyebaran pandemi COVID-19, sehingga kehidupan kembali normal.
Selama penyebaran COVID-19, tentu masyarakat Badui juga terdampak secara ekonomi. Perajin tenun yang dilakukan warganya kini bangkrut dan tidak memproduksi karena tak ada kunjungan wisatawan.
Namun di sisi lain, beruntungnya masyarakat Badui yang berpenduduk 11.600 jiwa tersebar di 68 perkampungan karena hingga kini belum ada yang terpapar COVID-19. Hal itu dan bisa dibuktikan dari hasil pemeriksaan swab yang dilakukan Puskesmas Cisimeut.
Para tetua adat selalu menyebarkan imbauan-imbauan agar masyarakat Badui tidak berpergian ke luar daerah, terlebih zona merah dan oranye. Di samping itu, protokol kesehatan pencegahan virus Corona juga ditegakkan di kawasan pemukiman Badui.
"Kami yakin jika manusia sadar mematuhi protokol kesehatan dipastikan virus Corona hilang di Tanah Air," katanya menjelaskan.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...