Pergeseran Pola Asuh, Ayah Kekinian Turun Tangan Buat Anak
Sejak dulu, pemahaman di tengah masyarakat seolah mengagungkan bahwa yang namanya ayah tugasnya mencari nafkah, sedangkan ibu bertanggung jawab merawat anak.
Namun seiring berkembangnya ilmu pengasuhan (parenting), pengkotak-kotakan ini rasanya tak lagi berlaku di masa kini.
Psikolog TigaGenerasi, Ayoe Sutomo melihat pemisahan tugas ayah dan ibu ini akibat konsep gender stereotype dan gender role expectation yang berlaku dalam masyarakat. Gender stereotype berarti keyakinan bagaimana pria dan wanita seharusnya berperilaku.
"Laki-laki digambarkan dengan stereotype yang lebih tenang, lebih logis, kemudian dalam tugas rumah tangga dia lebih 'providing' atau sebagai pencari nafkah," kata Ayoe rilis resmi Teman Bumil yang diterima CNNIndonesia.com, Kamis (1/7).
"Sementara wanita itu lebih dominan secara emosi, kemudian dalam tugas rumah tangga lebih pada tugas pengasuhan atau caretaking, sebagai caretaker."
Kemudian gender role expectation sendiri adalah peran yang diharapkan dari laki-laki dan perempuan. Wanita diharapkan lebih berperan dalam pola asuh anak, sedangkan pria dalam mencari nafkah.
Saat peran berjalan semestinya, muncul penguatan dan pujian dari lingkungan. Sebaliknya saat peran ini tidak sesuai yang diharapkan, timbul punishment misal pandangan miring dari keluarga besar atau lingkungan sosial.
Meski konsep usang ini masih berlaku, tetapi ada sebagian yang sudah bergeser. Banyak pasangan sudah terbuka pada nilai-nilai baru dan lebih setara dalam pembagian tugas rumah tangga.
Survei buktikan ayah turut berperan asuh anak
Sebuah survei diinisiasi Teman Bumil bersama Populix untuk melihat peran ayah dalam pengasuhan anak. Meski survei untuk melihat peran ayah, responden adalah ibu dengan total 1.061 ibu.
Hasilnya, mayoritas ayah (75 persen) turut mendiskusikan pola asuh yang akan diterapkan. Selain itu, ayah juga membantu menyiapkan seluruh kebutuhan ibu dan anak (64 persen), berbagi jadwal merawat anak (61 persen) dan membantu merawat anak yang sakit (55 persen).
Mayoritas ayah pun (83 persen) meluangkan waktu setiap hari menemani anak bermain, sedangkan ayah yang bekerja kebanyakan meluangkan waktu saat akhir pekan (17 persen).
Menurut Ayoe, ayah akan lebih menyentuh ranah stimulasi dan aktivitas bermain yang melibatkan gerak. Dari aspek emosi, ayah cenderung lebih tegas, berani ambil tantangan dan lebih berani eksplorasi. Dari aspek sosial, ayah terbiasa memecahkan konflik sehingga anak bisa lebih percaya diri saat bermain dengan teman hingga terjun ke dunia sosial.
Untuk memperoleh beragam manfaat bermain bersama, ayah tidak harus terbebani secara kuantitas. Untuk ayah bekerja, tentu bukan hal mudah menemani anak bermain dalam kondisi lelah. Kuncinya adalah pada kualitasnya. Riset menyebut, sebetulnya bermain bersama selama 20-30 menit sudah cukup asal konsisten dan fokus.
"Artinya, memang 30 menit mendampingi dengan full, tidak dibarengi aktivitas-aktivitas lain, sehingga anak mendapatkan koneksi emosi yang penuh dengan orang tua di saat itu dan dilakukan secara rutin setiap hari," ungkap Ayoe.
(els/agn)