Kata Psikolog soal Fenomena Panic Buying saat PPKM Darurat

CNN Indonesia
Rabu, 07 Jul 2021 05:47 WIB
Psikolog memberi pendapat terkait pembelian barang secara besar-besaran (panic buying) terjadi di tengah lonjakan kasus Covid-19 belakangan ini.
Ilustrasi. Psikolog memberi pendapat terkait pembelian barang secara besar-besaran (panic buying) terjadi di tengah lonjakan kasus Covid-19 belakangan ini. (iStock/ArtMarie)
Jakarta, CNN Indonesia --

Fenomena pembelian barang secara besar-besaran (panic buying) terjadi di tengah lonjakan kasus Covid-19 belakangan ini.

Akibatnya, persediaan obat, alat kesehatan dan produk yang dianggap bisa menjaga imunitas seperti susu beruang hingga kelapa hijau menipis dan bahkan habis di pasaran. Sekalipun ditemukan, harganya sudah melonjak tinggi

Psikolog klinis dewasa dari Universitas Indonesia, Mega Tala Harimukthi berpendapat ada beberapa hal yang menyebakan fenomena panic buying terjadi beberapa waktu lalu di Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pertama, kebijakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat di Jawa dan Bali pada 3 Juli-20 Juli 2021. Menurut Mega atau akrab disapa Tala, sebetulnya hal ini tidak perlu ditanggapi masyarakat dengan sikap panik.

Pasalnya, masyarakat sebenarnya sudah punya pengalaman dibatasi kegiatannya pada tahun lalu melalui kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan baik-baik saja selama aturan dipatuhi.

Oleh karena itu, Tala menegaskan bahwa dalam kasus PPKM Darurat kali ini, masyarakat tidak perlu panik sehingga menimbulkan persepsi akan terjadi kelangkaan produk-produk kebutuhan sehari-hari di masa mendatang, kemudian mendorong keinginan memborong atau panic buying.

"Kondisi ini hanya dibatasi untuk tidak keluar kalau tidak ada kepentingan. Ini untuk kebaikan kita dan keluarga. Sebenarnya kita tahu kebutuhan bulanan keluarga apa saja, kita punya daftarnya, semisal vitamin, makanan, cukup ikuti daftar itu, jadi tidak perlu bersikap cemas sampai panik," kata Tala, seperti dikutip Antara.

Di samping itu, memborong barang belum tentu membuat seseorang merasa lebih baik. Tindakan ini justru bisa menyebabkan kelangkaan produk yang semestinya tidak perlu terjadi atau kalaupun tersedia harganya melambung tinggi dari biasanya.

Selain PPKM, panic buying yang terjadi saat ini menurut Mega juga karena masyarakat cemas pada angka kasus Covid-19 yang masih terjadi, bahkan meningkat dalam sebulan terakhir.

Menurut Tala, panic buying saat ini pun tidak lagi logis atau benar-benar irasional.

"Gimana enggak, nyari vitamin saja susah, bahkan oximeter jadi harganya melambung dan akhirnya karena tidak semua berpikir positif dan baik. Akhirnya ada pihak-pihak yang memanfaatkan peluang ini untuk menjadi sebuah peluang bisnis," kata Tala.

Menurut Tala, banyak orang yang sehat pun terserang mentalnya. Mereka cemas akan terkena Covid-19 suatu hari nanti, misalnya. Saat mengalami sakit kepala, dia otomatis berpikir soal gejala Covid-19, padahal bisa jadi karena kebiasaan begadangnya.

Pada akhirnya, kecemasan meningkat dan membuat sistem imunnya turun lalu sehingga mudah terkena Covid-19 seperti apa yang dia pikirkan.

"Di kondisi second wave ini bukan hanya sakit fisik, tetapi sakit mental bertambah. Sakit mental ini yang jelas psikosomatis, kecemasan meningkat. Misal, karena begadang, bekerja terus pegal, dia langsung asosiasikan itu dengan gejala Covid-19, yang akhirnya membuat imunnya drop dan jadi sakit beneran," tutur Tala.

(antara/agn)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER