Faktor keberagaman wisata yang ditawarkan di destinasi juga ikut berpengaruh atas kunjungan wisatawan. Pendatang tentunya ingin melakukan kegiatan lain setelah menyelam, misalnya. Begitu juga setelah mereka mendaki gunung dan lain sebagainya.
"Jadi, sebuah destinasi harus punya banyak atraksi wisata, sehingga wisatawan bisa tertarik datang sekaligus menghabiskan waktu menginap yang lama," ujarnya.
Chusmeru kurang setuju dengan anggapan bahwa sebuah destinasi harus bermodalkan banyak sudut Instagramable agar ramai didatangi wisatawan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baginya, tempat Instagramable hanya sementara - terutama yang buatan, karena yang akan terus dipertimbangkan ialah faktor 3A.
"Wisatawan paling hanya datang sekali atau dua kali ke tempat yang Instagramable. Apalagi jika hanya datang untuk berfoto. Tapi kalau ada hal lain yang menarik atau sesuatu yang selalu baru, pasti mereka akan kembali datang," katanya.
Media internasional sering menyebut Bali sebagai "destinasi surgawi dengan harga terjangkau". Tapi sebenarnya ada banyak pilihan wisata di Pulau Dewata tergantung jenis kantong wisatawan, mulai dari kelas backpacker sampai "kaum sultan".
"Saya rasa murah atau mahalnya biaya berwisata di sebuah destinasi juga bukan faktor penentu kedatangan wisatawan. Mereka pasti rela membayar lebih jika apa yang ditawarkan sepadan. Misalnya ada paket wisata mengunjungi suku di pedalaman. Meski harganya mungkin sedikit mahal tapi kegiatannya menarik, mereka pasti mau ikut serta," ujarnya.
Chusmeru mengatakan kalau wisatawan milenial masih tetap menjadi pasar utama dalam industri pariwisata.
Namun jika sebelum pandemi biasanya wisatawan milenial menyasar tempat meriah, di pascapandemi mereka diramalkan bakal menyasar tempat yang lebih privat, karena ada pertimbangan bekerja jarak jauh hingga faktor kesehatan.
"Pelaku usaha wisata di Bali, jika tidak ingin wisatawan bosan dengan apa yang sudah ditawarkan, sudah harus mulai riset mengenai wisata apa yang diinginkan wisatawan milenial ini. Apa yang mereka butuhkan dari wisata privat itu, ketenangan atau kelengkapan fasilitas demi bekerja jarak jauh misalnya," katanya.
Selain paket wisata yang menyasar wisatawan milenial, Chusmeru juga berpesan agar Bali memperbanyak inovasi pada tempat wisatanya. Salah satu yang disorotnya ialah kompleks Garuda Wisnu Kencana.
"Selama ini orang yang datang hanya untuk berfoto. Pengelola Garuda Wisnu Kencana harus siap menyuguhkan hal baru pascapandemi nanti, sehingga wisatawan yang datang bisa berkunjung lebih lama, yang juga menyebabkan mereka tinggal lebih lama di Bali. Tentu saja tanpa melupakan protokol kesehatan," pungkasnya.
Di tengah pandemi virus Corona, perjalanan wisata masih dikategorikan sebagai perjalanan bukan darurat, sehingga sebaiknya tidak dilakukan demi mencegah penyebaran dan penularan Covid-19, terutama di daerah yang masih minim fasilitas kesehatannya.
Jika hendak melakukan perjalanan antarkota atau antarnegara, jangan lupa menaati protokol kesehatan pencegahan virus Corona, dengan mengenakan masker, mencuci tangan, serta menjaga jarak fisik antarpengunjung. Jangan datang saat sakit dan pulang dalam keadaan sakit.