Menyusuri Gang, Menapaki Nostalgia

Yulia Adiningsih | CNN Indonesia
Minggu, 05 Sep 2021 06:46 WIB
Sejarah terbentuknya Indonesia tak bisa lepas dari gang, jalan kecil yang diapit pemukiman.
Gang Gloria, salah satu gang di Jakarta yang legendaris. (CNNIndonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia --

Sejarah terbentuknya Indonesia tak bisa lepas dari gang, jalan kecil yang diapit pemukiman. Mungkin ada puluhan ribu gang di penjuru Indonesia, karena di Jakarta saja paling tidak sudah ada 2.258 gang.

Gang begitu akrab dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Dia bisa jadi penyambung bagi pemukiman warga, "jalan tikus" bagi pengendara motor, destinasi wisata kuliner, sampai pelacuran.

Istilah gang sebenarnya baru ada pada masa kolonial Belanda dan diserap dari bahasa mereka. Dalam istilah Belanda juga dikenal gang atau steeg.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemunculan gang bermula dari masalah tata kota. Kala itu, tata kota di Indonesia masih tak beraturan. Ditambah lagi, tingginya urbanisasi menyebabkan penduduk di perkotaan semakin bertambah dan kebutuhan akan tempat tinggal semakin tinggi.

Permasalahan ini tidak begitu berdampak pada pemukiman di pusat kota. Sebab, kawasan tersebut biasanya hanya ditinggali oleh orang-orang berduit atau punya jabatan tinggi dalam pemerintahan.

Namun bagi kawasan kantong penyanggah pusat kota atau perkampungan, justru kebalikannya. Kawasan itu kian ramai karena diisi oleh pribumi dan para perantau.

Sejarawan Andi Achdian mengatakan, fenomena itu melahirkan adanya gang sebagai jalan kecil di tengah pemukiman yang kian padat.

"Gang itu muncul dengan pola perkembangan kota yang numpang di atas pemukiman kampung. Kampungnya tidak hilang, akses jalan tersebut yang menjadi gang," kata Andi kepada CNNIndonesia.com saat diwawancara beberapa waktu yang lalu.

Selain faktor urbanisasi dan perkembangan kota, kemunculan gang juga dipengaruhi oleh desakan para pejuang nasionalis saat itu.

Mereka ingin pemerintah kolonial tidak hanya mempercantik pusat-pusat kota, melainkan juga perkampungannya.

Kala itu pejuang nasionalis terpecah menjadi dua. Satu golongan kooperatif, yaitu orang-orang yang tergabung ke dalam Volksraad (sekarang Dewan Perwakilan Rakyat/DPR).

Mereka di antaranya Agus Salim, M.H. Thamrin, Abdoel Moeis, dan Otto Iskandar di Nata.

Sementara itu, golongan kedua adalah orang-orang yang tidak kooperatif dengan pemerintahan Belanda. Mereka berjuang di jalur nonformal seperti Soekarno dan Ernest Douwes Dekker.

Kedua golongan itu sama-sama berjuang. Namun, golongan M.H Thamrin cs lebih cepat untuk bisa melobi pemerintah Belanda. Dibuatlah proyek 'Kampoeng Verbetering' dan fokusnya perbaikan kampung.

Dengan adanya proyek itu, jalan-jalan kecil di perkampungan mulai diperbaiki. Dibangunnya gang mendekati gambaran gang yang saat ini kita lihat, lorong panjang dengan aspal.

"Makanya ada di Menteng Atas, Tanah Tinggi, Kwitang, Kampung Bali Tanah Abang, Sawah Besar yang menjadi enklave-enklave (daerah kantong) masyarakat pribumi diperbaiki kampungnya. Dengan pekarangan, dengan jalan setapak yang disebut gang itu," kata sejarawan sekaligus budayawan, Yahya Andi Saputra, yang diwawancarai secara terpisah.

Setelah ada gang, kata Yahya, orang menamainya dengan tokoh termasyhur dan ciri khas dari kawasan itu untuk memantapkannya sebagai sebuah alamat. Sehingga, memudahkan orang dalam aktivitas sehari-hari.

"Di Pasar Baru misalnya ada Gang Abu, gang Arab, yang memang di sekitar situ tinggal Pak Abu yang notabene orang Arab," contohnya.

"Ada juga gang yang dinamai berdasarkan kecenderungan pohon yang tumbuh di sana. Dulu di Kwitang ada Gang Kwini karena banyak pohon kwini di sana," lanjutnya.

Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...

Menyusuri Gang, Menapaki Nostalgia

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER