Baik Andi maupun Yahya sepakat bahwa setiap gang punya ciri khas sendiri. Ada satu hal yang dilekatkan oleh masyarakat secara tak sadar terhadap suatu gang.
Gang Gloria dan Gang Kelinci misalnya. Dari sebelum Presiden Joko Widodo lahir, kedua gang itu sudah termashyur sebagai gang kuliner. Yahya menyebut Gang Kelinci sudah ada sekitar tahun 1800-an.
Ketenaran dua gang itu tak lepas dari banyaknya etnis Tionghoa yang tinggal di kawasan tersebut. Mereka, kata Yahya, membuka usaha kuliner yang enak dan dikenal oleh banyak orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain kuliner, sejumlah gang di Jakarta juga lekat dengan narkoba dan prostitusi. Salah satu gang yang terkenal dengan narkobanya adalah Gang Madat di Jakarta Pusat.
Konon dulu di gang itu penjual dan pembeli opium saling bertransaksi.
"Sangat terkenal, menjadi buah bibir. Di sana orang bisa judi atau teler," ucap Andi.
Begitu juga dengan Gang Ampiun, Jakarta Pusat. Dulunya, di gang ini terdapat pabrik opium milik VOC, sehingga dinamakan Gang Opium. Orang-orang banyak juga yang melafalkan Gang Ampiun.
Lalu, ada juga Gang Hauber, Madat, dan Mangga yang terkenal dengan prostitusinya. Di gang-gang itu tentara Belanda dan warga pribumi melepas syahwatnya.
Di Surabaya ada juga Gang Dolly. Gang di mana para Pekerja Seks Komersial (PSK) tinggal dan menyambung hidup.
Namun pada 2014 lalu praktik prostitusi di gang ini usai. Gang Dolly kemudian berganti wajah menjadi area yang lebih humanis.
Terlepas dari itu semua, Yahya mengatakan sejumlah gang di Indonesia, termasuk yang sudah disebutkan sebelumnya berpotensi menjadi tempat wisata, terutama kuliner.
Selain kuliner, menurutnya, gang-gang legendaris itu juga bisa menjadi wisata imajiner. Dalam artian, cerita, kejayaan, ketragisan sampai kekacauan bisa dihadirkan kembali seakan-akan orang merasakan hidup pada saat itu.
"Imajinasi bisa dihadirkan di benak setiap peserta tur wisata ke gang-gang ini," pungkasnya.
(ard)