Kakak sepupu menyarankan pakai jeruk nipis ke wajah. Karena sudah hopeless, saya mencobanya.
Namun, alih-alih sembuh, justru wajah jadi semakin perih. Tante menyarankan pakai daun binahong yang ditempel di dahi untuk menghilangkan beruntusan. Saya lakukan, tapi tak sembuh juga, yang ada jerawat malah makin subur.
Lama-lama, saya yang awalnya biasa saja dan tidak masalah dengan jerawat ini, mulai terganggu. Tiap bertemu orang yang selalu mengomentari jerawat, psikis saya jadi bermasalah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya takut melihat kaca. Setiap pulang bertemu orang, saya menangis. Setiap cuci muka dan memegang jerawat, saya juga menangis.
"Kenapa ya? Kok, jerawatan aja diomongin terus?" tanya saya ketika itu.
Lama-lama, saya lelah mendengar komentar-komentar itu. Bahkan di satu kesempatan kerja, seorang klien hingga bilang, "Kamu, tuh, cantik, tapi lebih cantik [kalau] enggak jerawatan."
Ini membuat saya makin frustasi menghadapi jerawat dan omongan-omongan orang.
Bahkan mengunggah foto di media sosial saja saya enggak berani karena DM (direct messages) bakal penuh pertanyaan, "Kenapa jerawatan? Kenapa [jerawat] makin banyak?"
Bukannya tanpa usaha, saya sudah lima kali ganti dokter, tapi tak ada perubahan apa-apa. Saya sempat berpikir untuk operasi plastik saja. Capai jerawat tidak selesai-selesai, capai mendengarkan komentar orang-orang.
Sampai akhirnya, saya bertemu sahabat semasa kuliah. Dia menyarankan untuk ke dokter kulit, tempat dia melakukan perawatan. Saya mencoba mendatanginya.
Dokter mengatakan kalau jerawat saya muncul dan makin parah karena pikiran. Saya diminta untuk santai dan tidak usah memikirkan jerawatnya.
"Jerawat itu wajar terjadi pada setiap orang. Karena manusia punya hormon yang memengaruhi itu. Jadi enggak usah terlalu kamu pikirkan, dibawa santai saja. Kalau kamu terus pikirkan, mau saya kasih obat apa pun enggak akan ada pengaruhnya. Kalau masih ada aja yang komentar, diamkan dan enggak usah ditanggapi," kata dokter waktu itu.
Kata-kata dokter itu bikin saya sadar. Saya mulai mengubah pola pikir. Mereka enggak tahu apa saja yang sudah saya lakukan, sebesar apa usaha saya, dan berapa uang yang sudah dikeluarkan untuk mengobati jerawat ini.
Sejak saat itu, setiap bertemu orang yang mengomentari jerawat, saya sudah tidak menanggapinya lagi. Seperti angin lalu saja. Bodoh amat, sudah tidak peduli.
Kalau enggak kuat, saya pakai earphone atau saya tinggal pergi. Sebelumnya, saya bisa marah dan menjelaskan dari A sampai Z apa saja yang sudah saya lakukan untuk menyembuhkan jerawat.
Lihat Juga : |
Peran dokter ini besar sekali dalam membantu saya sembuh dari mental yang terpuruk. Saya juga belajar menerima perubahan apa pun dari diri saya. Saya menikmati proses sembuh dengan nyaman karena dokter juga selalu menyemangati saya.
Selama proses penyembuhan jerawat itu, saya juga atur pola makan, minum air putih yang cukup, makan banyak sayuran dan buah-buahan.
Sekarang saya sudah kembali percaya diri dan sudah tidak terganggu dengan jerawat. Kadang, kalau jerawat muncul lagi, misalnya timbul beruntusan di dahi atau jerawat merah-merah di pipi, dan ada yang komentar, maka saya akan jawab, "Ya, kan, saya manusia, bukan Barbie. Jadi wajar kalau ada jerawat."
(ptj/ptj)