Kejayaan opium di Indonesia mulai goyah sekitar tahun 1934-an. Konsumsi opium hampir di seluruh dunia menurun terkena imbas dari resesi ekonomi. Namun, pabrik itu masih tetap berjalan dan tetap bisa menopang perekonomian pemerintahan Belanda.
Puncak keterpurukannya terjadi setelah Jepang datang, dan Belanda harus hengkang dari Indonesia. Opium bahkan menjadi barang ilegal saat itu. Mengonsumsi opium sampai teler tak lagi sebebas sebelumnya.
Opium kembali dilegalkan pasca Indonesia merdeka. Pabrik opium di Salemba kembali beroperasi dan Cikini kembali menjadi lalu lintas opium.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Produksi opium kala itu dipegang sendiri oleh pemerintah Indonesia dan menjadi salah satu sumber pemasukan kas negara. Candrian bahkan menyebut hasil penjualan itu digunakan sebagai biaya operasional para pejabat untuk aktivitas politik dan diplomasi Indonesia.
Kala itu, Kementerian Keuangan RI dijabat oleh Alexander Andries Maramis (AA Maramis) dan didampingi oleh Ong Eng Die. Maramis dan Ong berhasil menjual sampai 22 ton opium mentah saat itu.
"Itu nanti bisa cari laporannya di Departemen Keuangan sampai tahun 1959. Indonesia kan butuh uang, ternyata itu bisa menguangkan untuk membayar para pegawai, pegawai Indonesia di luar negeri. Waktu itu baru merdeka, harus pasang diplomat di mana-mana, gajinya dari situ," ucap arkeolog lulusan Universitas Indonesia itu.
Tahun 1960-an, opium kembali menjadi ilegal. Candrian tidak menjelaskan secara detail ihwal pelarangan itu. Namun, sampai saat ini, barang candu itu masih illegal.
Meski begitu, jejak opium di Cikini nampaknya menjadi sejarah yang disimpan dengan baik oleh ingatan warga sekitar.
Bari misalnya, salah satu warga Cikini Kramat. Ia ingat betul bagaimana kakek neneknya menceritakan sejarah jembatan yang kini membentang dari Jalan Kenari sampai Cikini Kramat itu.
"Dari zaman nenek kakek, zaman Belanda, katanya emang dulu pusat narkoba," kata Bari bercerita kepada CNNIndonesia.com di depan jembatan tua, bekas rel kereta itu.
Ia mengatakan, dulu tapak jembatan itu masih dari kayu. Namun, beberapa tahun terakhir jembatan itu dicor. Sehingga, banyak warga yang tak takut untuk kembali menggunakan jembatan itu.
Jembatan itu kini tak lagi melihat transaksi opium, karena lebih sering dilintasi kendaraan roda dua pencari jalan tikus, demi melewati kawasan Cikini yang semakin padat oleh manusia.
(ard)