Kalau kita berkata ingin pergi ke Cikini, pasti kemungkinan kerabat akan mengira kalau kita hendak belanja bunga, beli emas, naik kereta, ke Planetarium, atau nonton pertunjukan seni di Graha Bakti Budaya.
Tapi Cikini kini sudah sangat berkembang. Restoran siap saji, supermarket, kedai kopi kekinian, seakan "mengepung" salah satu kawasan elit dan bersejarah di Jakarta ini.
Cikini kini sama seperti kawasan Kemang atau Senopati yang asyik dijadikan tempat kongko. Mau yang mahal, ada. Mau yang murah, banyak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cikini tidak hanya memberi asupan yang bersifat material, tapi juga memberikan asupan untuk jiwa. Cikini punya Taman Ismail Marzuki (TIM), sebuah ruang untuk para pelaku dan penikmat seni.
Belum lagi, Cikini punya Institut Kesenian Jakarta (IKJ), kampus yang banyak mencetak perupa, penari, aktor dan aktris, sutradara film, sampai musisi legendaris.
Namun, apa yang dilihat tentang Cikini sekarang bisa jadi jauh berbeda jika ditarik jauh ke belakang.
Pemerhati sejarah Jakarta, JJ Rizal, menggambarkan Cikini pada masa kolonial atau awal abad ke-19 sebagai bagian dari Weltevreden. Istilah Belanda untuk menggambarkan daerah tempat tinggal utama orang-orang Eropa di pinggiran Batavia.
"Artinya kota yang sangat memuaskan, Cikini masuk kawasan Weltevreden," kata JJ kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Bukan hanya menjadi pemukiman orang-orang Eropa, Cikini juga ditinggali oleh seniman nyentrik yang kaya raya, yaitu Raden Saleh. Seniman keturunan Arab itu meninggali lahan yang sangat luar di Cikini. Diperkirakan, lahannya itu yang sekarang menjadi RS PGI Cikini sampai TIM.
Rumah Saleh seperti istana, besar dan megah bergaya Eropa klasik. Terdiri dari dua lantai dengan atap yang runcing. Bagian pintunya penuh dengan ornamen yang dirancang oleh dirinya sendiri.
"Raden Saleh menjadikan contoh-contoh kastel di Eropa sebagai model dari rumah yang dia dirikan," ucap JJ.
Rumahnya bukan lah satu-satunya bangunan yang dirancang oleh Saleh. Ia juga banyak merancang bangunan-bangunan lain bergaya Eropa. Tak mengherankan jika bangunan-bangunan di Cikini yang masih tertinggal saat ini bernuansa klasik.
Saleh juga membagun kebun binatangnya sendiri. Bisa dibilang kebun binatang pertama di Indonesia. Kecintaannya terhadap satwa membuat ia memelihara berbagai macam hewan.
Cikini lalu semakin dikenal dan digandrungi oleh para pelancong. Tak sedikit orang-orang yang datang ke Cikini untuk melihat kebun binatang milik Saleh itu. Lokasi kebun binatang itu kini berubah wujud menjadi TIM.
Selain dikenal sebagai kawasan tempat tinggal pejabat Belanda dan warga kaya seperti Saleh, Cikini juga dibangun oleh sejarah lalu lintas opium. Tanaman berzat narkotika dan dilarang saat ini.
Awal abad ke-19, JJ bercerita kala itu di Cikini terdapat rel kereta api yang membawa opium ke nusantara sampai manca negara. Sisa rel kereta api itu kini menjadi jembatan di atas sungai Ciliwung di kawasan Cikini Kramat tak jauh dari RSCM.
Pabrik candu itu sendiri tak jauh dari Cikini, yaitu di kawasan Salemba yang kini menjadi kampus Universitas Indonesia. Pabrik candu terbesar se-Asia Tenggara.
Hasil penjualannya melebihi rempah-rempah dan menjadi pemasukan kas pemerintah Belanda. Begitu pun ketika Indonesia merdeka. Hasil penjualan candu itu digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk menggaji dan membiayai operasional para pejabat.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...