Burnout, 'Wabah' Dunia 'Kerja dari Rumah'

CNN Indonesia
Kamis, 25 Nov 2021 15:07 WIB
Kini sudah hampir dua tahun lamanya, para pekerja mendapat keinginannya untuk bekerja dari rumah, meskipun itu gara-gara pandemi. Ujung-ujungnya burnout.
Kini sudah hampir dua tahun lamanya, para pekerja mendapat keinginannya untuk bekerja dari rumah, meskipun itu gara-gara pandemi. Ujung-ujungnya burnout.( iStockphoto)

Luisa (bukan nama sebenarnya) mengalami hal burnout saat bekerja di masa pandemi.

"Mungkin ini efek pandemi dan wfh membuat saya jenuh bekerja. Maklum saya yang seorang ekstrovert dan gemar pergi ke sana ke mari usai pulang kerja harus 'dikurung' di rumah seharian. Awalnya berat karena di rumah, hanya suami yang bisa saya temui," katanya kepada CNNIndonesia.com.

Ketika Luisa yang masih berusaha menyesuaikan diri untuk masuk ke mode ambivert di rumah, deadline pekerjaan dan tekanan dari si bos makin menjadi saat wfh. Sikap bos dianggapnya makin semena-mena.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ketika jam kerja di rumah, rentetan tuntutan yang bertubi-tubi di ponsel terus muncul. Semua isinya perintah!

"Yang parah, dia menuntut semua orang untuk dengan cepat membalas pesannya, selagi mereka bekerja. Jika dalam 1-2 menit tak dibalas, dia pun marah dan meminta perhatian. Belum lagi urusan politik kantor. Energi saya seperti tersedot habis untuk semua drama di kantor."

Semua ini membuat Luisa burnout. Tak ada lagi pekerjaan yang berakhir baik untuknya. Tak ada lagi semangat untuk bekerja. Sampai pada akhirnya, ada satu titik dia merasa kondisi mentalnya sudah sedikit terganggu.

"Kalau sudah Jumat, mood saya berubah jadi senang karena mau weekend, tapi ketika Minggu malam saya berubah jadi seperti orang gila. Teriak-teriak sendiri, anxious. Saya takut menghadapi Senin. Saya ketakutan."

"Pikiran saya tak keruan, kepala saya panas serasa mau pecah. Saya sempet little depressed, beberapa malam saya berteriak-teriak histeris. Menangis sejadi-jadinya. Mungkin jika tetangga dengar, mereka pikir saya alami KDRT."

Usai berjibaku dengan burnoutnya, dia mulai menata hidupnya kembali. Setelah berpikir masak-masak, dia memutuskan untuk resign dari kantornya.

Pertolongan pertama pada burnout

Sekat-sekat yang mulai kabur antara kehidupan pribadi dan juga pekerjaan saat WFH memang harus kembali ditegakkan.

"Untuk menghindari burnout, cara yang penting dilakukan adalah menghindari hal-hal yang bisa membuat stres," kata Psikolog Industri Organisasi, Kiky Dwi Saraswati.

Hanya saja hal ini tak serta merta bisa dilakukan. Kedua belah pihak, antara kantor dan pekerja harus bersinergi satu sama lain untuk menciptakan keseimbangan kerja.

Tempat kerja dapat menetapkan jam kerja yang sehat untuk karyawan, memberikan pekerjaan yang sewajarnya, mengapresiasi pekerjaan karyawan, hingga menyediakan konseling dengan psikolog untuk karyawan.

Nat (bukan nama sebenarnya) juga punya masalah mental di kantornya. Sayang, ketika dia mencari bantuan pertama, kantor tak bisa memfasilitasi kebutuhan mentalnya lewat tenaga profesional. Namun, dia masih beruntung, atasan-atasannya memberi dispensasi soal pekerjaan karena masalah yang dihadapinya. Kawan Nat yang juga mengalami masalah serupa sempat diberi izin untuk unpaid leave 3 bulan untuk menenangkan diri dari tekanan pekerjaan yang diterimanya.

"Ini karena saya udah ngerasain betapa enggak enak ketika mental udah kena, jadi menurut saya penting banget sih, buat kantor apa pun yang tekanannya cukup tinggi, untuk punya psikolog profesional demi kesejahteraan mental. Karena yang sakit bukan hanya fisik, tapi mental juga," katanya kepada CNNIndonesia.com.

"Soalnya, yang gitu-gitu kan bahkan bisa dimulai dari stres kecil. Bakal lebih baik kayaknya kalau si stres kecil itu bisa ditangani sama layanan psikologi di kantor masing masing, biar enggak makin parah. Lagi pula, kalau karyawan mentalnya sehat, kerjanya akan bagus, dan berdampak sama kantor juga."

Nat sendiri menambahkan sebenarnya ada banyak pekerja yang sudah mulai aware denga kesehatan mental mereka, namun terkadang masih suka menganggap enteng masalah atau takut karena stigma yang bakal mereka terima dari rekan kerja, termasuk dianggap 'lemah' dan 'lebay.'

"Kadang curhat ke teman itu ya jadinya cuma sekadar curhat aja, enggak ada solusinya. Jadi, kalau di kantor ada layanan psikologi, seenggaknya itu bisa jadi pertolongan pertama dulu lah buat kita kita yang cuma stres stres kecil posisi psikolog itu netral. jadi, gue ngerasa bisa ngomong apa aja gitu, tanpa khawatir akan dinilai ini itu." 

Sementara itu, dari sisi pekerja, mereka juga wajib punya 'kehidupan lain' selain bekerja. Misalnya, makan bersama keluarga atau teman, melakukan hobi, dan lainnya setelah waktu kerja selesai. Tidur juga bisa jadi pelarian yang baik untuk terbebas dari pekerjaan.

Selain itu, mulailah hari dengan time management yang tepat. Mulai bekerja tepat waktu dan selesai juga tepat waktu.

Membagi tugas dalam pekerjaan juga akan meringankan pekerjaan Anda. Jangan ragu untuk berbagi tugas atau mendelegasikan tugas kepada orang lain baik di kantor maupun di rumah.

(chs)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER