Jakarta, CNN Indonesia --
Berjuluk 'seribu wajah', Systemic Lupus Erythematosus (SLE) alias Lupus memang penyakit yang tidak bisa langsung dikenali. Terlebih, saat dahulu tenaga medis belum familiar dengan penyakit autoimun ini.
Cesarius Singgih Singgih Wahono, dokter spesialis penyakit dalam-konsultan reumatologi, menuturkan untuk sampai pada diagnosis Lupus bisa memakan waktu berbulan-bulan.
"Gejalanya bisa demam enggak sembuh-sembuh, dianggap tifus. Hemoglobin turun, [dianggap] anemia. Dikira gangguan jiwa, padahal ada saraf yang bermasalah. Namun kini [diagnosisnya] lebih baik, pengenalan akan Lupus oleh tenaga kesehatan lebih baik," kata Singgih dalam webinar bersama Perhimpunan Reumatologi Indonesia dan Novartis, Selasa (14/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lupus termasuk penyakit autoimun atau penyakit yang timbul akibat sistem imun tidak bekerja dengan semestinya. Pada orang dengan autoimun, sistem imun justru menyerang sel, jaringan atau organ tubuh.
Dia berkata penyebabnya bisa multifaktor seperti genetik, hormonal juga lingkungan misal paparan sinar ultraviolet maupun infeksi tertentu.
Secara garis besar, penyakit autoimun terbagi menjadi dua kelompok yakni penyakit yang menyerang organ tertentu misal, Multiple Sclerosis (otak), diabetes tipe 1 (pankreas) dan Pernicious Anemia (lambung).
Kemudian penyakit autoimun sistemik (non-organ spesific disease) termasuk Lupus. Manifestasi Lupus bisa menyerang organ ginjal, saraf, otak, kulit, jantung, paru, juga sendi.
"Yang menarik, sebagian besar autoimun lebih pada perempuan. Menurut data perbandingannya [pasien perempuan dan pasien laki-laki] 9:1. Indonesia angkanya bisa lebih besar, 10 atau 15 banding 1," katanya.
Kenapa prevalensi Lupus pada perempuan lebih tinggi daripada pada laki-laki?
Sebenarnya tidak hanya Lupus, prevalensi penyakit autoimun secara umum memang lebih besar pada kaum Hawa. Singgih menyebut salah satu faktor penyebab penyakit autoimun adalah faktor hormonal.
Pada perempuan, terutama perempuan usia muda, hormon estrogen sedang tinggi-tingginya. Kemudian ini dipadu dengan faktor-faktor lain seperti, genetik, lingkungan, bahkan gaya hidup.
"Apa Lupus bisa diturunkan? Bisa tapi kecil. [Penyebabnya multifaktorial] ibaratnya kayak bikin cake. Kita tentu tidak hanya membutuhkan tepung dan telur saja untuk membuat cake tapi ada bahan-bahan lain," jelasnya.
Bagaimana dengan gejala Lupus?
Setiap orang dengan Lupus atau odapus, gejala yang dialami bisa bervariasi.
1. Kulit, terlihat ada butterfly rash atau ruam merah pada area kedua pipi dan hidung seolah membentuk kupu-kupu. Kekambuhan bisa saja terjadi akibat paparan sinar ultraviolet.
2. Vaskulitis, radang pembuluh darah.
3. Arthritis, radang sendi di mana bagian sendi membesar atau bengkak dan terasa nyeri.
4. Penumpukan cairan pada rongga paru dan jantung. Rongga jantung sebenarnya dalam kondisi normal memang terdapat cairan dalam volume kecil. Namun pada odapus, cairan ini bisa lebih banyak hingga jantung membesar.
5. Ginjal, ginjal bengkak, air seni berbusa, 'ginjal bocor' (terdapat protein yang keluar dari ginjal) kalau dibiarkan akan terjadi gagal ginjal.
6. Saraf, penurunan kesadaran, kejang, stroke, kelemahan, kelumpuhan, gangguan mental, kesemutan.
Simak penjelasan dokter lebih lanjut mengenai penyakit Lupus di halaman berikut.
Jika dikelompokkan berdasarkan derajat keparahan, Lupus bisa dibagi menjadi tiga yakni ringan, sedang dan berat.
"Yang ringan paling kulit ada rash (butterfly rash), sendi, cepat merasa lelah. Kalau yang sedang, mulai banyak mengalami nyeri sendi, organnya kena, radang selaput paru, trombosit turun tapi belum mengancam nyawa. Yang berat, itu sudah mengancam nyawa seperti kejang, trombosit tinggal 5.000," jelasnya.
Karena penyakit tidak menyerang organ secara spesifik, penanganannya pun akan melibatkan dokter dari berbagai disiplin termasuk dokter umum yang pertama kali ditemui pasien, baru kemudian diarahkan ke dokter spesialis penyakit dalam.
Dari sini akan menyesuaikan gejala atau manifestasi penyakit seperti dokter spesialis penyakit dalam konsultan reumatologi, konsultan alergi-imunologi, nefrologi dan dokter spesialis lain yang berkaitan.
Seperti apa tata laksana pengobatan penyakit Lupus?
Singgih berkata berdasar rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia, pengelolaan pasien Lupus terdiri dari edukasi, rehabilitasi dan terapi (farmakologi dan nonfarmakologi).
Edukasi dan tata laksana non-farmakologi
1. Istirahat fisik yang cukup, tapi masih melakukan latihan fisik sesuai kondisi.
2. Ikhlas akan kondisi yang dialami dan meregulasi stres.
3. Menghindari paparan sinar matahari langsung.
4. Dukungan dari orang terdekat termasuk komunitas autoimun maupun komunitas Lupus.
5. Pengenalan tanda-tanda kekambuhan misal demam, penurunan berat badan, ruam baru, kerontokan rambut tambah parah, nyeri, sendi bengkak dan lesi oral baru.
6. Asupan nutrisi yang seimbang.
Tata laksana farmakologi
Terapi pengobatan akan berbeda pada tiap pasien. Namun dokter mengusahakan obat diberikan pada dosis serendah mungkin dan dalam jangka waktu sependek mungkin. Ini dilakukan demi menghindari risiko efek samping.
- Obat antiinflamasi non steroid (OAINS), natrium diklofenak, meloksikam dll. (ditanggung BPJS).
- Obat antimalaria, Hidrosis Klorokuin (ditanggung BPJS).
- Kortikosteroid seperti, prednison, prednisolon, metilprednisolon (ditanggung BPJS).
- Obat penekan sistem imun (imunosupresan) seperti, azathioprine, siklosporin, MMF, MPA, siklofosfamid dll. (sebagian besar hanya ada di RS tipe A dan ditanggung BPJS)
- Obat biologis misal, rituximab, belimumab (tidak ditanggung BPJS).
Pengobatan Lupus tidak bertujuan agar pasien mencapai kondisi stabil atau remisi (lupus low disease activity state). Artinya, penyakit bisa sembuh tapi bisa kambuh.
Bagaimana nasib para odapus yang terpapar Covid-19?
Singgih menyebut pengobatan odapus maupun pasien penyakit autoimun yang terinfeksi Covid-19 kemungkinan tidak optimal, terlebih terdapat obat yang berfungsi menekan sistem imun.
Sangat penting pasien berkonsultasi pada dokter yang menangani saat curiga terinfeksi Covid-19 maupun yang terkonfirmasi positif Covid-19.
Setelah sembuh dari Covid-19 pun pasien masih perlu waspada akan Long Covid. Pada pasien non-autoimmune disease, Long Covid memang memberikan beban terlebih pada pasien dengan penyakit autoimun.
"Long Covid ini menambah beban ya. Gejalanya bisa mudah lelah, kelemahan otot, nyeri sendi, batuk berkepanjangan, sesak, gelisah, depresi, gangguan tidur, sakit kepala, berdebar, nyeri dada, sumbatan pada pembuluh darah, gangguan ginjal dan rambut rontok. Orang sehat saja bisa kena, apalagi autoimun," kata Singgih.