Jakarta, CNN Indonesia --
Tahun lalu sebanyak 1,27 juta orang meninggal karena sesuatu yang mungkin belum pernah Anda dengar - resistensi antimikroba. Apa itu resistensi antimikroba?
Resistensi Antimikroba (atau disingkat AMR) terjadi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit berubah seiring waktu - sehingga mereka tidak lagi merespons obat-obatan yang dikonsumsi.
Kondisi ini membuat infeksi lebih sulit untuk diobati dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit, bahkan menyebabkan penyakit parah dan kematian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai perbandingan, angka 1,27 juta orang lebih tinggi dari jumlah yang meninggal karena HIV/Aids atau Malaria tahun lalu, ini menjadikan AMR sebagai penyebab utama kematian secara global.
Berdasarkan siaran pers Proyek Global Research on Antimicrobial Resistance (GRAM), kemitraan antara Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) dan University of Oxford mengungkapkan, di Asia Tenggara saja, lebih dari 97.000 orang meninggal karena akibat langsung dari AMR pada tahun 2019.
Penelitian tentang topik ini menemukan AMR setidaknya menjadi penyebab yang berkontribusi hingga 4,95 juta kematian secara global - tidak jauh dari total kematian Covid-19 yang dilaporkan ke WHO - yaitu 5,6 juta sejak terdeteksi.
WHO sendiri sudah menetapkan bahwa resistensi antimikroba termasuk dalam 10 besar masalah kesehatan global.
Bahaya resistensi antimikroba
Sebagaimana dikutip dari penjelasan Kementerian Kesehatan di Twitter, resistensi antimikroba terjadi karena bakteri infeksi yang dulunya bisa dimatikan dengan antibiotik tertentu, kemudian tidak dapat lagi dimatikan dengan antibiotik tersebut dengan dosis sesuai aturan.
Akibatnya, penyakit jadi sulit diobati, risiko penyebaran dan keparahan penyakit meningkat, bahkan sampai menyebabkan kematian.
"Pengidap kondisi ini tidak dapat disembuhkan, tapi penyebarannya bisa diperlambat dengan pemberian vaksinasi, hubungan seksual yang aman, kebersihan makanan, cuci tangan, sanitasi bersih, dan penggunaan antibiotik dengan bijak," demikian pemaparan Kemenkes.
Mengapa bisa terjadi resistensi antimikroba?
Pemberian antibiotik bertujuan untuk mengobati infeksi. Namun, pengobatan jadi tidak efektif dan berbahaya manakala obat tidak digunakan dengan bijak serta tidak sesuai rekomendasi dokter.
Alih-alih cepat sembuh, sikap tersebut justru membahayakan kesehatan diri.
Penyebab bakteri menjadi resistan:
- Dipicu oleh penggunaan antibiotik yang salah
- Sering menggunakan antibiotik
- Konsumsi makanan yang mengandung residu antibiotik
-Tertular pasien infeksi bakteri resistan
Simak cara pencegahan resistensi antimikroba di halaman berikut.
Cara mencegah resistensi antimikroba
Kemenkes mengingatkan bahwa penggunaan antibiotik secara bijak jadi kunci mencegah resistensi antimikroba (AMR).
"Konsumsi antibiotik hanya dengan resep dokter, jangan gunakan antibiotik dari resep lama, demam, batuk, pilek, tidak perlu antibiotik, cukup istirahat dan makan makanan bergizi. Sakit lebih dari 3 hari, hubungi dokter."
Berikut yang harus diperhatikan saat menggunakan antibioti, seperti dikutip dari laman Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
1. Hanya menggunakan obat antimikroba (termasuk antibiotik) jika diresepkan dokter
Jangan mengonsumsi antimikroba, termasuk antibiotik, kecuali mendapat resep dari dokter. Tidak semua penyakit membutuhkan obat antimikroba.
Untuk memutuskan antimikroba yang perlu dikonsumsi, pasien harus berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu.
Pengobatan sendiri (swamedikasi) dengan antimikroba tanpa berkonsultasi dengan dokter dapat menyebabkan ketidaktepatan pengobatan.
Sebagai contoh, ketika sedang pilek, bisa jadi penyebabnya adalah virus influenza atau justru penyebabnya bukan mikroba sama sekali (seperti alergi).
Pemberian antimikroba yang tidak tepat dapat memicu resistensi. Covid-19 juga penyakit akibat virus. Virus tidak mati dengan antibiotik karena antibiotik dirancang untuk membunuh bakteri.
2. Konsumsi obat antimikroba dari resep dokter dan digunakan sesuai petunjuk dokter serta apoteker
Apabila dokter meresepkan obat-obat antimikroba, obat tersebut harus dikonsumsi sampai habis dan sesuai dengan petunjuk dokter, bahkan ketika gejala sudah tidak dirasakan lagi.
Anda juga dapat berkonsultasi dengan apoteker yang menyerahkan obat untuk bertanya lebih lanjut tentang penggunaan obat antimikroba yang diresepkan oleh dokter.
3. Tidak membeli obat antimikroba tanpa resep dokter atau menggunakan resep lama
Apabila obat antimikroba yang diresepkan oleh dokter sudah habis, pasien tidak boleh membeli sendiri obat tersebut untuk dikonsumsi kembali.
Jika pengobatan sudah selesai tetapi masih merasakan gejala sakit maka sebaiknya berkonsultasi kembali dengan dokter.
Selain itu, jangan pernah memberi antibiotik sisa atau diresepkan untuk diri sendiri kepada orang lain
4. Tidak menghentikan sendiri pengobatan antimikroba yang diresepkan oleh dokter
Jika ada hal-hal yang tidak nyaman dirasakan selama menggunakan obat antimikroba, segera kembali ke dokter untuk melaporkan ketidaknyamanan tersebut.
Dokter mungkin perlu memeriksa dan mengganti pilihan antimikroba sesuai dengan kebutuhan.
5. Menjaga kebersihan dan sering mencuci tangan
Menjaga kebersihan serta sering mencuci tangan menggunakan air mengalir dan sabun dapat mencegah penyebaran kuman seperti bakteri dan virus tanpa harus menggunakan obat.