Mendeteksi Covid-19 yang bersarang di tubuh bisa dilakukan melalui tes swab antigen atau Polymerase Reaction Chain (PCR). Meski begitu, kedua tes ini memiliki tingkat akurasi yang berbeda.
Tidak jarang, orang yang antigennya positif akan diminta menjalani pemeriksaan PCR untuk memastikan ada virus yang bersarang di tubuhnya. Jadi mana yang sebaiknya dilakukan, melakukan tes antigen atau langsung PCR?
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Reisa Broto Asmoro menjelaskan, kedua tes ini sama-sama baik untuk mendeteksi virus yang ada di tubuh. Hanya saja, jika seseorang melakukan kontak erat dengan pasien Covid-19, sebaiknya langsung melakukan tes PCR bukan lagi antigen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sesuai arahan WHO yang terbaik memang diagnosis dengan PCR, sensitivitasnya juga berbeda," kata Reisa dalam Talkshow di akun Instagram Live Kementerian Kesehatan, Senin (14/2).
Lagi pula, menurut Reisa, tes PCR saat ini juga sudah semakin terjangkau dan mudah ditemui di sejumlah fasilitas dan layanan kesehatan.
Dia menambahkan, antigen memang bisa digunakan, hanya saja tes ini dilakukan untuk skrining pasien. Ketika hasil menunjukkan positif Covid-19 setelah tes antigen, maka pasien tetap harus melakukan tes PCR.
"Jadi kalau merasa duh saya demam, boleh tes antigen. Tapi kalau telah kontak erat, sebaiknya langsung pakai PCR," papar Reisa.
Dalam kesempatan itu, Reisa juga menjelaskan alasan ada beberapa hasil tes yang kerap berbeda. Misalnya ketika melakukan tes di satu tempat hasil yang keluar adalah positif, kemudian mencoba melakukan tes di tempat lain lalu hasilnya negatif.
Padahal, tes hanya dilakukan selang beberapa jam atau satu hari saja.
"Memang bisa terjadi, tapi sangat jarang. Dan ini ada beberapa hal yang bisa memengaruhi," kata dia.
Reisa menjelaskan, dalam pengambilan spesimen, memang muncul istilah false negatif atau negatif palsu. Ini bisa terjadi misalnya pemeriksaan yang dilakukan terlalu dini sehingga virus yang ada di tubuh belum terlalu banyak dan tidak terdeteksi.
"Makanya ketika tes di hari ini negatif, lalu kok saya bergejala ya. Tes lagi besoknya, eh positif. Ini bisa terjadi ya seperti itu," kata dia.
Kemudian, penyebab lain menurut Reisa adalah spesimen yang diambil kurang tepat hingga kontaminasi dengan spesimen lain sehingga sampel menjadi rusak.
"Ini bisa terjadi karena human error, namanya tindakan jasa pasti ada salah ya. Meskipun kemungkinannya sangat kecil tapi ini memang bisa terjadi," papar Reisa.
(tst/agn)