Vaksin Rubella, Halal Haram dan Cerita Tuli Fajar

Sonya Andomo | CNN Indonesia
Rabu, 18 Mei 2022 19:46 WIB
Vaksinasi Rubella yang rendah membuat sejumlah anak rentan terkena virus tersebut di Sumbar Masalah klasik halal-haram masih saja terjadi di kalangan warga.
Vaksinasi Rubella yang rendah membuat sejumlah anak rentan terkena virus tersebut di Sumbar Masalah klasik halal-haram masih saja terjadi di kalangan warga. (Foto: CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia --

Riri, salah seorang pegawai di Kota Padang, Sumatera Barat merasa bersalah ketika anaknya, Fajar, terkena Rubella yang mengganggu pendengarannya sejak 2019 lalu. Kini anaknya itu berusia 9 tahun dan hingga sekarang masih melakukan terapi.

"Keadaan waktu itu cukup sulit bagi saya, soalnya saya dan suami sama-sama tengah melanjutkan sekolah, apalagi harus menanggung biaya yang tak sedikit untuk pengobatan," katanya.

Dibantu oleh banyak pihak, mulai dari orang tua, rekan sesama kuliah, hingga dosen, Riri berusaha mengurai satu persatu benang kusut penyakit yang diderita anaknya.

Riri juga mengingat sebelum Fajar terkena penyakit ini, sebelumnya pun dirinya terpapar Rubella.

Awalnya, dia dan suaminya tak tahu ketika anaknya menderita gangguan pada sistem pendengarannya. Dia menuturkan dokter sempat bilang Fajar hanya didiagnosis mengalami gangguan pada jantung bawaan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Anak ibu menderita deafness atau tuli total," kata dia, mengulangi kembali pernyataan dokter.

Terlahir dalam kondisi disable akibat Congenital Rubella Syndrome (CRS) sejak dalam kandungan, menjadikan Fajar harus menjalani serangkaian proses pengobatan yang panjang.

Fajar lahir pada tahun 2013 di Kota Padang dalam kondisi gagal jantung bawaan, berat lahir rendah, memiliki volume kepala kecil dan memiliki gangguan pendengaran yaitu tuli total.

Riri menuturkan langkah pertama yang dia lakukan kala itu yaitu melakukan terapi telinga yang cukup memakan biaya yakni Rp450 ribu selama empat kali sebulan.

Selain terapi, Riri juga mengatakan Fajar juga diharuskan dokter untuk menggunakan alat bantu dengar dengan harga Rp24 juta.

"Alat bantu dengar yang pertama kali dipasangkan ke Fajar itu masih dengan kualitas standar, sehingga perkembangannya di anak saya tidak berjalan dengan baik," katanya.

Berselang tiga bulan tak juga menunjukkan hasil yang baik, akhirnya Riri memutuskan untuk memasang implan koklea atau pemasangan alat elektronik kecil di dalam telinga bagi para penderita gangguan pendengaran dengan harga Rp250 juta.

"Pada saat itu harganya Rp250 juta itu masih yang grade paling bawah dan sangat standar, tapi kami harus berusaha untuk memenuhinya dengan pinjaman dan bantuan dari berbagai pihak. Apalagi tindakan tersebut harus dilakukan di Jakarta," kata dia.

Kini Fajar sudah berumur sembilan tahun. Fajar sudah mulai bisa terkoneksi dengan lingkungannya meskipun tetap tidak seperti kebanyakan anak lainnya.

"Namun kadang saya tetap merasa sedih melihat anak yang seolah-olah diperlakukan berbeda, dan merasa bersalah bahwa anak saya tidak bisa bersekolah di sekolah umum lainnya," katanya.

ilustrasi anak sakitIlustrasi anak. (Foto: iStock/AgFang)



Masalah Vaksin Rubella di Sumbar

Pakar Rubella RSUP Dr M Djamil, Kota Padang, Sumatera Barat dokter Rinang Mariko menjelaskan tentang Rubella, salah satunya soal penularan dari ibu ke janinnya.

Conginetal Rubella Syndrome (CSR) atau Sindrom Rubella bawaan merupakan suatu kondisi kelainan pada bayi akibat ibunya terinfeksi virus Rubella selama proses kehamilan.

Virus Rubella itu akan menyebabkan kerusakan janin dan menimbulkan gejala penyakit pada bayi seperti katarak, penyakit jantung bawaan, gangguan pendengaran, dan keterlambatan proses tumbuh kembang anak.

Seperti virus lainnya, virus Rubella ditularkan melalui droplet atau molekul terkecil dari cairan air ludah dan cairan hidung. Selama lima hingga tujuh hari, virus tersebut akan melakukan tahap inkubasi di dalam tubuh seseorang, tepatnya di bagian atas tenggorokan dan kelenjar getah bening.

"Jika seorang ibu hamil terpapar Rubella, maka akan memberikan dampak kepada janinnya, dan biasanya akan lebih berat dampaknya pada ibu dengan masa kandungan di trimester pertama atau pada tahap pembentukan organ," kata Rinang.

Gejala fisik yang ditimbulkan ketika seseorang terkena Rubella hampir sama dengan gejala yang ditunjukkan oleh campak karena sama-sama berada dalam kelompok fakula makula eritem yakni terdapat ruam pada kulit.

"Rubella hanya ditandai dengan jumlah ruam yang lebih singkat, tidak terdistribusi ke seluruh tubuh, dan flulex syndrom atau seperti orang flu, demam dan legal-pegal. Tapi jika rubella menginfeksi ibu hamil maka itu akan jauh lebih berbahaya, dan berdampak cacat pada bayi," jelasnya.

Sejak 2020, RSUP Dr. M Djamil sudah mencatat terdapat 32 bayi yang mengalami kelainan atau cacat pada bayi akibat Sindrom Rubella bawaan hingga Maret 2022.

Data resmi menunjukkan dari 11 target yang harus dilaporkan, terdapat 17 bayi yang menderita  sindrom Rubella bawaan pada 2020. Pada 2021, dari target 11 bayi , terdapat12 bayi penderita Rubella, dan pada tahun 2022 hingga Maret, pihaknya sudah menemukan 3 kasus pada bayi.

Dalam proses pelacakan, setiap bayi baru lahir terdapat proses identifikasi. Ada dua kelompok disable yang ditimbulkan pada bayi, yakni kelompok A untuk kelainan mata, katarak, dan glukoma, kemudian kelainan jantung, gangguan pada pendengaran, serta pigmentari.

Sedangkan kelompok B,menderita disable yang ditimbulkan pada bayi berupa kelainan pada lingkar kepala, mikrosefalus, kuning pada 24 jam pertama kelahiran, itteric hingga pembesaran pada bagian lien, dan spinomegal.

Rinang mengimbau seluruh pihak terkait dapat mencegahnya dengan imunisasi MR pada usia bayi 9 bulan, 18 bulan dan 5 tahun.

"Terutama pada masa pandemi Covid-19, imunisasi MR menurun dengan sangat drastis, sehingga masyarakat kembali diimbau untuk tidak melewatkan imunisasi lainnya," jelasnya.

Namun data Kementerian Kesehatan mengungkap, dari target sebanyak 1,5 juta anak di kabupaten/kota di Sumbar yang menjadi target menerima vaksin MR, hanya 316. 650 anak yang memperoleh vaksin MR hingga 12 September 2018.

Angka tersebut setara dengan 21,11 persen. Hal itu menjadikan Sumbar sebagai peringkat empat terendah di Indonesia. Lebih spesifik, dari capaian target sebanyak 75,62 persen, setiap kabupaten dan kota, Kabupaten Kepulauan Mentawai masih mendominasi dengan capaian 66,93 persen, Sementara Kota Bukittinggi menjadi kota terendah dengan capaian MR 6,69 persen.

Terkait dengan hal itu, Kepala Dinas Kesehatan Sumbar merespons, melalui salah satu kepala sesi Dinkes Yusmayanti. Dia hanya menyampaikan capaian target vaksinasi MR yang dimulai sejak tahun 2018-2022 saja, tanpa memaparkan data capaian vaksin MR.

"Data imunisasi rutin MR 2018: 75,6 persen, 2019: 80,8 persen, 2020: 58,8 persen dan 2021: 59,8 persen," tulisnya dalam pesan singkat WhatsApp pada Kamis (11/5).

Debat Halal dan Haram Vaksin Rubella di Sumbar

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER