WHO juga telah melaporkan 257 kasus cacar monyet yang telah terkonfirmasi dan 120 kasus suspek di 23 negara non-endemik. Hal tersebut disampaikan WHO dalam update kasus cacar monyet pada Minggu (29/5) lalu. Kendati demikian, tak ada kasus kematian akibat cacar monyet di negara non-endemik yang dilaporkan.
Merespons kemunculan penyakit ini, Kemenkes telah meminta masyarakat waspada terhadap penyakit cacar monyet yang saat ini ditemukan di sejumlah negara. Kemenkes juga memastikan sejauh ini belum ada laporan temuan cacar monyet di Indonesia.
Melalui Surat Edaran Nomor HK.02.02/C/2752/2022, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu mengatakan cacar monyet dapat bersifat ringan dengan gejala yang berlangsung 2-4 pekan, tapi dalam beberapa kasus berujung kematian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maxi menjelaskan, sebagian kasus berhubungan dengan adanya keikutsertaan pada pertemuan besar yang dapat meningkatkan risiko kontak baik melalui luka, cairan tubuh, droplet, dan benda yang terkontaminasi.
Karena itu, Maxi meminta pemerintah daerah, fasilitas pelayanan kesehatan, dan kantor kesehatan pelabuhan memantau perkembangan kasus Monkeypox tingkat global, serta memantau penemuan kasus sesuai definisi operasional penyakit cacar monyet berdasarkan WHO.
Para peneliti dari Griffith University baru-baru ini menemukan varian baru virus Hendra (HeV-g2) yang dapat menular ke kuda dan manusia. Virus Hendra merupakan patogen yang bersirkulasi secara alami pada kelelawar dari genus Pteropus (flying fox) Australia.
Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Laura Navika Yamani menyebut varian virus Hendra memiliki tingkat kematian lebih tinggi daripada virus corona yang telah merenggut ratusan ribu nyawa di Indonesia.
"Fatality rate atau tingkat kematiannya lebih tinggi. Jika Covid-19 pada tingkat 3-4 persen, virus Hendra berada pada tingkat 50 persen kematian," kata Laura dalam keterangan tertulis yang dikutip dari situs resmi Unair, Jumat (3/6).
Kendati lebih mematikan, namun Laura menyebut virus Hendra umumnya masih jarang ditemukan pada manusia. Berdasarkan data dari tahun 1994 hingga 2013 dilaporkan tujuh kematian manusia akibat virus ini.
Laura kemudian menjelaskan, virus Hendra ditemukan tahun 1994 pada wabah penyakit di kawasan Hendra, Brisbane, Australia. Virus yang bersumber dari kelelawar ini dapat menyerang sistem pernafasan dan neurologi pada hewan dan manusia.
Laura melanjutkan, virus Hendra berpeluang masuk ke tubuh manusia melalui perantara hewan mamalia seperti Kuda. Ia menyebut, virus Hendra dapat menular ke manusia melalui kontak erat, disertai tingkat higienitas yang rendah.
Adapun ia menyebut penularan virus Hendra dari kelelawar ke kuda menjadi wajar, terlebih mengetahui fakta bahwa keduanya memiliki habitat yang sama. Penularan virus terjadi melalui droplet.
Kemudian, kelelawar pemakan buah yang memiliki habitat dengan kuda, dapat melakukan buang kotoran atau urine yang akhirnya bercampur dengan rumput yang menjadi makanan kuda. Sehingga rumput yang akan dimakan kuda terkontaminasi dengan virus tersebut.
(khr/bac)