Jakarta, CNN Indonesia --
Tepat pukul 04.30 WIB suara alarm terdengar nyaring di kamar Rara. Ini jadi penanda bahwa harinya dimulai.
Bangun tidur, menyiapkan sarapan, menyiapkan makan siang untuk suami di rumah, sekaligus bekal makan siang untuk disantap di kantor. Rutinitas yang selalu dilakukannya lima kali seminggu.
Rara (28) baru saja pindah ke Kabupaten Tangerang awal 2022 ini. Meski bekerja di Jakarta, dia dan suaminya memilih membeli rumah di Cisauk, salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Tangerang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jujur saja, pas awal ke sana juga sempat shock. Wah, jauh banget. Tapi gimana, ya, mampunya beli di sana," kata Rara bercerita kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Dalam satu bulan, Rara harus ngantor selama dua minggu. Jam masuknya adalah jam 09.00 WIB. Pulang pergi dia harus berperang mendapat tempat di KRL jurusan Rangkasbitung-Tanah Abang.
Rara biasanya berangkat ke stasiun kereta Cisauk pukul 07.00 WIB. Dari stasiun Cisauk, Rara naik KRL dengan jadwal 07.40 WIB. Perjalanan di KRL ke stasiun Palmerah kurang lebih 30-35 menit. Biasanya dia sudah di Palmerah sekitar pukul 08.10 WIB.
"Nah di stasiun aja, mau naik eskalator atau mau tap karcis itu bisa habis waktu 10-15 menit. Ngantre. Bener-bener, deh, makanya harus serba satset," kata dia.
Dari stasiun Palmerah, Rara biasanya naik ojek online ke kantornya yang berada di Mampang. Dia akan sampai tepat pukul 08.45 WIB. Waktu yang pas untuk beristirahat sejenak sebelum mulai bekerja.
Tangisan Kaum Urban
 Ilustrasi. Sejumlah pekerja di Jakarta terpaksa harus menghabiskan waktu di jalan untuk menuju kantornya. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Jujur saja, banyak hal yang menurut Rara berubah sejak dia tinggal di luar Jakarta. Maklum, sejak 2016 dia sudah tinggal di Jakarta.
Rara bahkan tidak pernah berdesak-desakan di kereta hanya untuk berangkat kerja.
"Pas awal-awal saya nangis, nangis benar-benar yang nangis di stasiun. Tiap hari, ngerasa capai banget. Tapi setelah hampir enam bulan dijalanin, ternyata nyaman dan bisa lebih mengatur waktu," kata Rara.
Bukan hanya Rara, rasa lelah itu juga kerap dirasakan Nara (27). Nara dan suaminya baru menetap di Parung Panjang pada Maret tahun ini.
Sebagai PNS di Pemprov DKI Jakarta, Nara wajib ngantor tiap hari, kecuali Sabtu dan Minggu. Setiap hari dia harus tiba di kantornya pukul 08.00 WIB.
Simak cerita selengkapnya di halaman berikutnya..
"Biasanya berangkat dari rumah jam 06.00 WIB. Di awal pindah ke Parung Panjang ngerasa capai banget karena masih kaget," kata Nara.
Nara mengaku sering merasa stres saat tiba di rumah setelah pulang kerja. Stres yang dialami ini bukan hanya karena perjalanan jauh yang mesti ditempuh tiap hari, tapi juga keadaan rumah yang berantakan karena tak ada waktu beres-beres.
Padahal, ketika masih tinggal di Jakarta, dia memiliki banyak waktu luang yang bisa digunakan untuk beres-beres, bersantai, bahkan olahraga. Saat ini dia hanya punya waktu untuk beres-beres dan tidur cepat agar besoknya bisa kembali memulai hari.
"Saat tinggal di Jakarta, pulang kantor masih bisa beres-beres, santai, dan olahraga. Sekarang, pulang kerja hanya bisa beres-beres dan santai sedikit, mengingat harus tidur lebih cepat karena harus bangun lebih pagi juga," kata Nara.
Bisa Karena Terbiasa
 Ilustrasi. Menempuh waktu berjam-jam perjalanan menuju kantor di Jakarta bukan perkara mudah. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Rara dan Nara bisa dibilang pendatang baru dalam urusan kaum urban. Sementara Arif sudah menjalaninya sejak 2019 lalu.
Arif yang sejak lulus kuliah dan bekerja tinggal di ibukota, pindah ke Kabupaten Bogor setelah menikah pada 2019 lalu.
Kantornya berada di Tendean, setiap hari butuh waktu dua jam lebih untuk berangkat ke kantor. Itu berarti setiap hari waktu empat jam dia habiskan di perjalanan.
Rasa lelah baik fisik maupun mental tentu pernah dirasakan. Apalagi perjalanan dengan angkutan umum di jam-jam sibuk pasti sulit dapat tempat duduk.
Terutama jika KRL dan TransJakarta benar-benar padat. Desak-desakan jadi makanan sehari-hari.
"Parah deh, udah kaya di kamp konsentrasi Nazi. Untungnya jarang harus berangkat di jam sibuk," kata dia.
Walau begitu, Arif bersyukur bisa tinggal di rumah sendiri meskipun jauh dari hiruk pikuk ibukota. Baginya, tinggal di luar Jakarta memberinya banyak kebiasaan baru.
Mulai dari terbiasa naik angkutan umum hingga terbiasa lebih tepat waktu.
"Nikmati saja perjalanan. Lagi pula tinggal di luar Jakarta lebih kondusif bagi tumbuh kembang anak, dan yang penting udaranya masih bersih," kata Arif.