Entah beruntung atau tidak, 'bocah pandemi' punya kesempatan untuk asyik bermain di rumah tanpa harus repot pagi-pagi pergi ke sekolah.
Tapi, dibalik keceriaan itu, siapa sangka jika pandemi Covid-19 justru berdampak buruk pada anak. Tak cuma soal proses belajar mengajar jarak jauh yang merepotkan, tapi juga pada kondisi psikis anak.
Betapa tidak, keseharian anak mungkin hanya dihabiskan bersama ibu, ayah, atau pengasuh mereka. Kadang asyik bermain gawai jadi solusi saat anak merasa bosan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Psikolog keluarga dari Rumah Dandelion, Nadya Pramesrani mengatakan, kurangnya interaksi sosial ini sangat berdampak pada anak. Salah satunya bisa terlihat di masa transisi ini, saat bocah-bocah pandemi ini mulai memasuki masa sekolah.
"Di masa pandemi banyak keterlambatan perkembangan, terutama terlambat berkembang secara emosional," ujar Nadya dalam acara yang digelar Bebelac pada Kamis (21/7).
Ada beberapa masalah yang bisa terjadi pada bocah-bocah pandemi di masa transisi ini. Berikut diantaranya.
Saat dihadapkan pada dunia luar, rasa cemas anak bisa meningkat. Mereka juga memiliki kecenderungan tidak ingin jauh dari orang tua.
Anak-anak pandemi ini bawaannya hanya ingin menempel pada ibu atau ayahnya. Bahkan di saat sudah mulai sekolah, dia kesulitan bergaul dengan orang sekitar.
Anak-anak pandemi cenderung memiliki sifat pemalu. Mereka juga lebih senang menarik diri karena bingung caranya bersosialisasi dengan orang baru selain orang tua mereka.
![]() |
Anak pandemi lebih mudah sakit. Ini bukan karena berbagai virus yang bermunculan, tapi lebih kepada kurangnya aktivitas fisik yang mereka lakukan selama pandemi.
Karena aktivitas turun, secara emosi anak pandemi lebih rewel, lebih mudah cranky, perilaku dan suasana hati mereka juga lebih mudah turun naiknya.
Anak jadi kesulitan untuk fokus. Lebih banyak bergerak kesana dan kesini tanpa tujuan yang jelas. Bisa bikin rumah berantakan dan membuat orang tua stres yang bisa berujung masalah pada anak.
(tst/asr)