Mitos lain yang dipercaya masyarakat sekitar Danau Toba adalah salam 'Santabbi Oppung'. Menurut penuturan Dedi, salam ini merupakan bentuk tata krama yang bertujuan bahwa kita meminta izin mampir ke wilayah tesebut.
Dedi mengatakan bahwa hal ini selayaknya mendatangi tempat-tempat alam terbuka lainnya yang dipercaya ada 'penghuninya'.
Selain itu, selama di Danau Toba, pengunjung juga diminta menjaga tata krama dan perkataan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tata krama tadi kita enggak bisa ngomong-ngomong kotor, misalnya cacian lah, jorok kali, gini-gini, itu enggak diperbolehkan," jelas Dedi.
"Jaga lisan lah. Makanya tadi kan saya bilang kan pantangannya di situ, jangan ngomong kotor," imbuhnya menambahkan.
Salah satu mitos yang juga berkembang di tengah masyarakat adalah naga penghuni Danau Toba.
Sejumlah warga percaya bahwa naga penghuni danau merupakan anak dari pria bernama Toba yang berubah menjadi seekor naga yang hingga kini menjaga danau tersebut. Hal ini diakui oleh salah seorang warga, Bona (48).
"Itu saya pernah dengar mitosnya. Katanya nelayan-nelayan di sekitar sini sering lihat keberadaannya di bawah air, tapi masih belum bisa dibuktikan kebenarannya," kata Bona.
Begu Ganjang merupakan mahluk mistis yang dipercaya oleh sebagian masyarakat Sumatera Utara, termasuk warga di sekitar Danau Toba.
Masyarakat sekitar percaya Begu Ganjang merupakan mahluk yang tinggi dan berambut panjang serta kerap disebut jika ada fenomena dianggap aneh, semisal warga yang tiba-tiba sakit atau meninggal mencurigakan.
Dedi mengatakan bahwa ada dua versi mitos Begu Ganjang. Pertama, Begu Ganjang disebut sebagai hantu yang digunakan oleh orang yang memiliki ilmu hitam untuk guna-guna atau santet.
"Itu bisa untuk guna-guna juga. Semacam teluh begitu. Jadi dia bisa mematikan orang secara mistis, diguna-guna," jelas Dedi.
Mitos lainnya, Begu Ganjang disebut sebagai sosok penjaga kebun jeruk milik warga. Dari cerita Dedi, banyak warga yang memiliki Begu Ganjang untuk menjaga jeruk milik mereka.
"Mitosnya itu kalau di Tanah Karo, di Brastagi, orang punya ladang jeruk, itu enggak sikit, berhektar-hektar. Orang enggak nunggu jeruk itu seharian," kata Dedi.
"Itu mitosnya kalau kita ambil (jeruk) sikit, untuk kita konsumsi, makan, itu enggak jadi masalah, tapi kalau kita ngambil banyak enggak bisa keluar kita itu, di situ-situ aja. kalau kita mencuri satu keranjang, kita gak bias keluar," jelas dia menambahkan.
(dmr/mik)