Chia berangkat ke Sumba, Nusa Tenggara Timur, dengan harapan stres yang dialaminya akibat tekanan kerja bisa hilang.
Chia menghabiskan waktu hampir satu pekan di Sumba pada Juni lalu. Tapi, pulang dari sana, alih-alih tenang, Chia malah kelelahan.
"Enggak ada, tuh, healing. Jalan-jalannya, sih, seru dan menyenangkan. Tapi, balik ke Jakarta, ketemu bos-bos lagi, aduh, kepala nyut-nyutan lagi," keluhnya pada CNNIndonesia.com.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sudah hampir satu tahun ke belakang, Chia menghadapi tekanan mental di tempat kerjanya. Berbagai target diberikan, membuat Chia kerap merasa gelisah dan gampang marah.
Tapi, apa lacur, pergi berlibur ke Sumba ternyata tak bisa membuatnya lebih santai dan legowo menghadapi tekanan-tekanan di tempat kerjanya. Chia kembali gelisah, sulit tidur, hingga emosi yang naik turun.
"Senang liburannya, tapi kok pas pulang tetap rasanya enggak tenang ya," kata Chia.
Faktanya, efek yang diberikan berlibur untuk healing memang bersifat sementara. Liburan mungkin bisa membikin hati senang, tapi belum tentu bahagia.
Banyak orang salah kaprah menyamakan rasa senang dan bahagia. Padahal, keduanya berbeda, sebagaimana Amanda membedakan antara 'pleasure' (kesenangan) dan 'happiness' (kebahagiaan).
Saat seseorang mengalami emotional pain, lanjut Amanda, mereka cenderung mencari pleasure. Namun sayangnya, kesenangan itu hanya bersifat sementara.
"Kita liburan. Terus pas pulang, aduh, balik lagi kerja, malas. Jadi, pleasure-nya sudah redup," ujarnya.
Sementara yang paling baik untuk didapatkan adalah kebahagiaan. "Happiness itu apa sih? Pleasure, tapi ada maknanya," kata dia.
![]() |
Secara ilmiah, Amanda menjelaskan tentang tiga lapisan otak manusia. Diantaranya otak reptil yang paling dasar, otak emosi, dan otak logika.
Penelitian memperlihatkan, hanya bagian otak emosi yang aktif saat seseorang berada dalam kondisi pleasure. "Kalau itu [otak emosi] udah redup, ya sudah, masalahnya balik," ujarnya.
Intinya, pergi berlibur yang bisa membikin hati senang itu hanya memuaskan bagian otak emosi, tapi tidak keseluruhan.
Sementara dalam kondisi happiness, semua bagian otak ikut aktif. Inilah yang sebenarnya dibutuhkan oleh seseorang yang mengalami emotional pain.
"Healing yang benar, ya, kita bereskan semuanya. Kita bereskan otak emosi, tapi otak logika juga diaktifkan," jelas Amanda.
Satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi rasa sakit emosional adalah mendatangi profesional, yang dalam hal ini adalah seorang psikolog atau psikiater.
Sayangnya, hingga saat ini, pergi berkonsultasi dan menjalani terapi dengan psikolog masih dianggap tabu. Banyak orang ogah pergi ke psikolog karena cap buruk dan stigma pada orang dengan masalah mental yang masih saja langgeng bertahan hingga saat ini.
"Sebenarnya awareness [tentang kesehatan mental] orang udah cukup baik untuk sekarang. Orang bukannya enggak aware, tapi takut kena judgement," kata Amanda.
Meski demikian, Amanda tetap menyarankan siapa pun yang mengalami rasa sakit emosional untuk segera berkonsultasi dengan profesional. Kondisi emotional pain yang dibiarkan bisa memicu masalah-masalah mental lainnya yang lebih parah.
Tak ada indikator khusus yang menandakan seseorang perlu mendatangi profesional. Salah satu pasalnya, tingkat ketahanan mental setiap orang yang saling berbeda satu sama lain.
Pada akhirnya, semua kembali pada masing-masing individu. Setiap individu seyogianya memiliki kesadaran saat ada sesuatu yang tidak beres pada dirinya.
Lagi pula, di tengah kehidupan yang kian ruwet ini, apa anehnya jika seseorang mengalami tekanan mental?
(asr/asr)