Denny Wirawan Rayakan 25 Tahun Berkarya Lewat 'Langkah'
Perjalanan panjang dimulai dari satu langkah. Desainer Denny Wirawan merefleksikan dan meramu perjalanan 25 tahun dirinya di dunia mode tanah air dengan memamerkan koleksi Spring/Summer 2023 dalam pertunjukan bertajuk "Langkah".
Perayaan yang sejatinya tepat jatuh pada 2021 kemarin baru bisa diwujudkan tahun ini karena pandemi.
Denny masih setia mengangkat wastra Nusantara. Kali ini, kain Gringsing dari Bali dan batuk Kudus dipadukan dalam sepotong busana.
"Kita bisa bermain di situ, mix culture [di mana] Bali-Jawa bisa berkolaborasi. Kain gringsing yang dibuat dengan teknik cukup rumit, dia double ikat, [dipadukan dengan] batik Kudus, batik cap. Kenapa batik cap? Karena masalah proses pengerjaan [terbatas]," kata Denny di sela pertunjukan di Grand Ballroom InterContinental Jakarta Pondok Indah, Jakarta Selatan, Rabu (28/9).
Pertunjukan diawali dengan dua perempuan berkebaya dan berkain yang berjalan membawa bakul canang lengkap dengan dupa menyala. Aromanya ingin membawa hadirin dalam nuansa spiritual Pulau Dewata. Harmoni kain Bali dan batik Kudus pun hadir dalam tiga sekuen.
Sekuen pertama didominasi tenun endek. Warna-warni kain dihadirkan dalam siluet luaran (outer), gaun panjang, gaun midi, korset, blus, dan celana palazzo. Di sini cukup banyak dominasi warna olive green, pink, dan fuschia.
Keindahan warna kain rupanya berasal dari pewarna alam dalam rangka upaya mode berkelanjutan di Singaraja. Tak hanya itu, motif geometris khas tenun endek juga menonjolkan keindahan busana, terlebih penempatannya yang apik. Motif pada kain tampak berkilau saat diterpa cahaya lampu, menambah kesan magis.
Dilanjutkan sekuen kedua, Denny memamerkan busana yang didominasi kain gringsing dari perajin di Karangasem. Ia memilih untuk tidak memotong kain, tetapi membiarkannya utuh dan dijadikan detail pada tampilan.
Hal ini bukan tanpa alasan, sebab kain gringsing merupakan warisan kebudayaan kuno Bali. Pembuatannya rumit dan biasa dikenakan dalam upacara khusus.
Denny menambah tassel pada ujung kain agar tampilannya makin indah. Di sini, ia 'bermain' dengan kain batik cap dari Kudus. Nuansa flora dan fauna pada batik melengkapi motif geometris kain Bali.
Denny memadukan potongan-potongan kain dengan warna senada kemudian menambah detail berupa bordir dan payet.
Kemudian, voila! Busana dari wastra tradisional tampil modern dan segar, tak lagi kuno dan kusam.
Sementara sekuen ketiga, tampil kain-kain songket Bali yang dibuat dengan pewarna alam. Denny bercerita kain songket yang digunakan terbilang unik sebab dibuat dari pintalan limbah benang.
Nuansa Bali begitu terasa dalam pertunjukan kemarin. Denny mampu mempertahankan keindahan wastra tradisional dengan warna-warninya yang indah.
Ia juga menambah keindahan kain dengan menyandingkannya dengan kain lain berwarna senada. Tambahan aksen bordir, payet, detail tiga dimensi tidak menutup keindahan kain-kain Bali tersebut.
Bali memang memiliki tempat sendiri bagi Denny. Ia lahir di Bali, meski menghabiskan masa remaja dan mengalami momen titik baliknya di Surabaya, Jawa Timur.
Denny menyebut dirinya sebagai bonek alias bondo nekat. Denny remaja mengikuti lomba desain busana bermodal kemampuan hobi membuat sketsa dari SD. Ia memang mendapat juara dua, meski setelah itu menganggur karena gagal masuk Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
Seorang pemilik toko kain, toko yang jadi sponsornya saat lomba, menawarinya pekerjaan menggambar sketsa baju untuk pelanggan.
"Saya enggak ada pengalaman, masih sangat muda. Tugas saya membuatkan desain buat tamu. Jadi ibu-ibu belanja, dibikin sketsanya. Saya gemetar disuruh gambar di depan customer," kenang Denny.
Surabaya sebenarnya punya banyak cerita dan layak jadi refleksi 25 tahun karier Denny. Barangkali Jawa Timur bisa jadi inspirasi koleksi berikutnya?
(els/asr)