Untuk memasuki kawasan ini, pengunjung tidak dikenai biaya sepeserpun alias gratis. Hanya saja terdapat uang kebersihan yang bisa diberikan pengunjung secara sukarela.
Adapun sebagian pengunjung didominasi oleh warga Jabodetabek, Riau, Kalimantan, dan Sumatera. Mereka kebanyakan adalah keluarga yang mengajak anak-anaknya untuk mempelajari sejarah.
Pengunjung diajak berkelana ke masa lalu melalui diorama yang memperlihatkan kronologi penyerangan pasukan Tjakrabirawa yang menewaskan Ade Irma, dua orang Tjakrabirawa berbaret merah saat mengendap-ngendap di luar kamar Jenderal AH Nasution, juga patung yang memperlihatkan Jenderal AH Nasution tengah mencoba kabur dari kejaran pasukan Tjakrabirawa dengan melompati tembok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, ada juga diorama pasukan Tjakrabirawa mengarahkan senjata ke arah Ibu Johana yang sedang mengggendong Ade Irma yang sudah berlumuran darah, dan penangkapan Lettu Pierre Tendean oleh pasukan Tjakrabirawa. Bahkan, lubang-luban bekas tembakan peluru di kamar tidur Jenderal AH Nasution masih dipertahankan.
![]() |
Lettu Pierre Tendean yang merupakan ajudan Jenderal AH Nasution diculik dan dibawa ke Lubang Buaya bersama enam perwira tinggi TNI AD lainnya. Padahal, rencananya pada 1 Oktober 1965 pagi Lettu Pierre Tendean akan berangkat ke Semarang, Jawa Tengah dalam rangka melangsungkan pernikahan dengan gadis bernama Rukmini. Namun naas, pada pukul 04.25 WIB ia justru diculik oleh pasukan Tjakrabirawa.
Tujuh perwira TNI AD itu akhirnya dibunuh dan dimasukkan ke dalam sumur tua dengan kedalaman 12 meter dan berdiameter 75 cm yang kini dikenal sebagai Lubang Buaya. Mereka kemudian mendapat gelar Pahlawan Revolusi.
(lna/wiw)