Jalan Panjang 'Thrifting', Dari Berhemat hingga Dianggap Keren
Kiwari, mencari baju bekas layak pakai bukan perkara sulit. Mereka tersedia di mana-mana, dari toko fisik hingga toko daring.
Maklum, dalam beberapa tahun terakhir, belanja baju bekas atau yang kiwari dikenal dengan istilah thrifting tengah ngetren di tengah muda-mudi.
Apa sebenarnya thrifting? Benarkah thrifting hanya sekadar belanja baju bekas belaka?
Secara harfiah, thrifting berasal dari kata 'thrift' yang berarti hemat. Namun belakangan, istilah ini digunakan untuk kebiasaan berbelanja baju atau barang bekas.
Bisa jadi, thrift diartikan sebagai cara berhemat dengan membeli baju atau barang bekas.
Seniman daur ulang sekaligus salah satu pendiri Setali, Intan Anggita Pratiwie mengatakan adanya pergeseran makna dalam konsep thrifting. Kini, thrifting dilihat sekadar sebagai aktivitas berburu barang bekas. Padahal, sesungguhnya thrifting memiliki misi tertentu.
Thrifting, menurut Intan, sejatinya adalah gerakan mengumpulkan barang bekas yang kemudian dijual. Hasil penjualan digunakan untuk amal, donasi, atau kegiatan sosial lain.
"Misal, kamu bikin garage sale untuk ibu-ibu yang kena dampak pandemi, enggak kerja lagi, ibu tukang sayur, itu bisa masuk thrifting. Kalau beli dari Gedebage, itu cuma beli second-hand," ujar Intan saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Menilik sejarahnya di dunia, kultur thrifting sebenarnya sudah dimulai sejak lebih dari satu abad lalu. Mengutip Time, pada akhir abad ke-19, berbagai wilayah di Amerika Serikat (AS) tumbuh pesat. Revolusi industri memperkenalkan produksi massal pakaian yang dianggap banyak orang sebagai sekali pakai.
Akibatnya, banyak barang yang dibuang. Dalam periode ini-lah, gerakan barang-barang second-hand pun bermunculan dalam upaya menemukan kegunaan baru sebuah barang.
Lihat Juga : |
Organisasi Salvation Army dan Goodwill kala itu berperan besar mengembangkan konsep thrifting. Mereka mengumpulkan baju-baju bekas untuk kemudian dijual untuk para imigran dengan harga yang jauh lebih murah.
Namun, kala itu pakaian bekas masih mendapatkan stigma negatif. Pakaian bekas dianggap sebagai tanda ekonomi yang terhimpit. Memang, kala itu pengguna pakaian bekas umumnya merupakan imigran yang datang mencari peruntungan ke AS.
Tren semakin berkembang saat era grunge mulai digilai. Kurt Cobain, sebagai panutan remaja kala itu, mempopulerkan dandanan slengean dengan kaus bolong, kemeja flanel, dan celana jin yang sobek. Di mana lagi orang mendapatkan barang-barang seperti itu selain di thrift store?
Di Indonesia sendiri, budaya belanja baju bekas diperkirakan telah ada sejak 1980-an.
"Sudah lama, ya. Dulu kalangan atas nyebutnya, ya, ini vintage. Nah, kalau untuk yang kalangan bawah memang murni karena faktor kebutuhan. Tapi tentu kualitas barang bekasnya juga berbeda," kata Sonny saat dihubungi CNNIndonesia.com, September lalu.
Budaya thrift di kalangan menengah atas biasanya hanya seputar membeli barang atau baju yang memiliki nilai tertentu. Misalnya, baju yang pernah dipakai tokoh tertentu. Meski bekas, nilai sejarah yang ada di balik barang tersebut membuatnya tetap diburu.
Hal berbeda berlaku di kalangan menengah bawah. Bagi mereka, thrifting adalah perkara kebutuhan. Membeli baju bekas dengan harga murah jadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan dengan ekonomi terhimpit.
"Kalau dulu yang kalangan menengah ke bawah tidak peduli labelnya apa, siapa yang pernah pakai baju itu, yang penting murah," jelasnya.
Pergeseran budaya
Thrifting sekarang tak sama dengan thrifting yang dulu. Ada pergeseran budaya yang membuatnya mengalami sedikit perubahan.
Sonny melihat, hal ini didasari oleh kekuatan media sosial yang membuat budaya thrifting terlihat lebih keren. Kampanye pemanasan global juga memberi pengaruh besar terhadap fenomena thrifting di kalangan muda-mudi.
"Jadi sekarang orang yang belanja baju bekas itu keren," ujar Sonny. Mereka dianggap berkontribusi memerangi pemanasan global dan membuat umur Bumi lebih panjang dengan memanfaatkan barang bekas.
Pikiran-pikiran seperti di atas, menurut Sonny, mulai tertanam dalam benak banyak anak muda masa kini. Belum lagi peran influencer yang turut membikin thrifting makin dielu-elukan.
Hal serupa juga diungkapkan oleh pengamat sosial dan budaya dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati. Katanya, media sosial membawa pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan thrifting saat ini.
Kata 'thrifting' dan 'barang bekas' pun bergeser. Jika dulu dianggap sesuatu yang sedikit memalukan, justru kini dianggap keren hingga membantu kelestarian Bumi.
"Ada pengaruh social media juga yang mempromosikan budaya ini. Biasanya dimulai oleh para konten kreator yang punya reputasi, dan tahu sendiri anak muda kita kebanyakan FOMO," kata dia saat dihubungi.
Dengan dalih melestarikan bumi, budaya thrifting yang semula dianggap sebagai cara berhemat bergeser jadi sesuatu yang keren. Bahkan, mulai muncul para pemengaruh atau influencer yang mempertontonkan bagaimana cara memadupadankan baju bekas yang dibeli di pasar loak.
(tst/asr)