Sunat perempuan masih langgeng di Indonesia hingga saat ini. Praktik ini dianggap sebagai bagian dari tradisi yang telah mengakar di tengah masyarakat.
Sunat perempuan pada dasarnya merupakan praktik pemotongan dan perlukaan pada area genitalia perempuan. Hal ini mencakup tindakan yang dilakukan secara sengaja tanpa adanya indikasi medis.
Antropolog dari Universitas Indonesia, Irwan Hidayana mengatakan bahwa ada banyak unsur yang terkandung dalam praktik sunat perempuan. Praktik ini, sebutnya, menjadi bagian dari tradisi yang berbalut agama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi ada pencampuran, ada budaya atau tradisi dan agama, terutama Islam yang tidak bisa kita hilangkan begitu saja," ujar Irwan saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Sunat perempuan adalah perkara yang kompleks. Bahkan, sebut Iwan, beberapa masyarakat masih menganggap bahwa sunat perempuan bersifat wajib.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sendiri tidak memasukkan sunat perempuan sebagai tindakan medis, melainkan bagian dari tradisi yang telah berlangsung lama. Oleh karena itu pula, Kemenkes tak melarang praktik sunat perempuan secara gamblang.
Meski tak ada larangan pasti, namun Kemenkes tidak merekomendasikan orang tua untuk menyunat anak perempuannya.
"Kami [Kemenkes] menyatakan [sunat perempuan] tidak baik dilakukan. Tapi, karena sunat perempuan bagian dari budaya, jadi enggak bisa kami hilangkan," ujar Direktur Kesehatan Usia Produktif dan Lanjut Usia Perempuan Kemenkes, Kartini Rustandi pada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Selain tidak memberikan manfaat apa pun, sunat perempuan justru disebut Kartini bisa memicu sejumlah risiko kesehatan. Sebut saja iritasi, infeksi, pendarahan, dan efek jangka panjang lainnya.
Namun, imbauan berbagai pihak soal bahaya secara medis pun tampaknya tak bisa menghentikan praktik sunat perempuan. Meski tak dilakukan oleh seluruh masyarakat Indonesia, tapi praktik ini cukup lumrah di sejumlah daerah.
Tak diketahui dengan pasti kapan dan di mana tradisi sunat perempuan di Indonesia dimulai. Yang jelas, berbagai daerah di Indonesia memiliki tradisi sunat perempuannya masing-masing yang saling berbeda satu sama lain. Beberapa di antaranya masih dilakukan hingga saat ini.
Makkatte adalah tradisi sunat terhadap anak perempuan yang dilakukan saat mereka memasuki usia 4-7 tahun. Anak perempuan disunat dengan tujuan 'meng-Islam-kan' dan mengurangi hasrat seksual ketika beranjak dewasa.
Di Bone, Sulawesi Selatan, sunat perempuan masih dilakukan hingga saat ini. Anak perempuan akan mengikuti ritual Makkatte yang dipimpin oleh Sanro.
Sanro adalah orang yang dipercaya untuk melakukan sunat. Mereka biasanya bukan berasal dari kalangan medis atau memiliki lisensi kesehatan.
![]() |
Masyarakat Gorontalo mengenal sunat perempuan dengan istilah mongubingo. Menukil laman Warisan Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mongubingo diartikan sebagai membersihkan alat kelamin perempuan dari kotoran yang terbawa sejak lahir. Tradisi ini umumnya dilakukan pada anak yang baru berusia 1-2 tahun.
Sebelum sunat dilakukan, anak akan mengikuti ritual mopolihu lo limu atau mandi lemon. Anak akan disiram atau dimandikan dengan air lemon, untuk kemudian dipakaikan busana adat dan menjalani proses sunat.
Dalam Jurnal Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, disebutkan bahwa mongubingo adalah manifestasi kehidupan dan sikap seorang perempuan. Tujuannya, untuk mengendalikan moralitas perempuan saat dewasa.
Sunat perempuan yang dilakukan oleh masyarakat Madura hukumnya wajib. Mereka melakukan tradisi ini murni berdasar pada keyakinan agama, khususnya Islam.
Mengutip modul tentang Sunat Perempuan Madura (Belenggu Adat, Normativitas Agama, dan Hak Asasi Manusia) yang ditulis oleh peneliti Pusat Studi Asia Pasifik UGM Yogyakarta, Imam Zamroni, sunat perempuan disamakan dengan sunat laki-laki.
Perempuan melakukan sunat pada rentang usia 0-18 tahun. Orang Madura beranggapan jika anak perempuan tidak disunat, maka dia belum memeluk agama Islam.
Sebagian masyarakat Maluku masih melakukan praktik sunat perempuan, utamanya di Desa Pelauw, Kapubaten Maluku Tengah. Tradisi ini disebut dengan Oiwael.
Mengutip jurnal Komnas Perempuan, sunat dilakukan dengan meletakkan gata-gata atau sumpit yang biasa digunakan untuk makan papeda, ke organ intim anak perempuan. Namun, dalam jurnal tersebut tak dijelaskan secara mendetail proses sunat selanjutnya.
Simak ragam tradisi sunat perempuan di Indonesia lainnya di halaman berikutnya..