Jakarta, CNN Indonesia --
Dua tahun lalu, kedua anak perempuan Andi Ika Mardita (33) terlihat berbeda dengan make up tebal.
Bibir pucat kedua putrinya jadi merah merekah, kedua pipinya pun dibubuhi warna pink terang, dengan kelopak mata diberi warna hijau dan kuning. Sebenarnya, dandanan yang cukup tebal untuk anak usia 4 dan 6 tahun.
Ika masih ingat betul, pagi itu setelah salat Idulfitri 2019 di Bone, kedua putrinya terlihat bahagia. Mereka didandani oleh salon yang cukup termahsyur di kampungnya. Keduanya tampak bahagia, terutama ketika diajak memakai tujuh lapis baju bodo yang berwarna-warni.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ini bukan tampilan mereka biasanya, apalagi untuk sehari-hari. Tapi hari itu bukan hari biasa untuk ketiganya. Perempuan yang disapa Ika ini juga sedikit bersolek untuk menemani putri-putrinya melakukan salah satu tradisi paling sakral bagi masyarakat Bugis, makkatte.
"Jadi sebelum di-makkatte, didandani dulu. Kemudian anak-anak itu dipakaikan baju bodo tujuh lapis. Ini wajib, memang harus baju bodo," kata Ika kepada CNNIndonesia.com, awal Januari lalu.
Makkatte, tradisi adat masyarakat Bugis yang wajib dilakukan setiap perempuan dengan niat untuk menyempurnakan ke-Islam-an mereka. Makkatte juga merupakan sebutan khitan atau sunat perempuan.
Jika sunat perempuan disebut makkatte, maka sunat laki-laki disebut massunna.
Jerit Tangis di Tangan Sanro
Saat tiba waktunya anak pertama Ika disunat, Sanro (penyunat) sudah duduk di atas tempat tidur.
Putri Ika yang pertama itu sudah didudukkan di atas bantal berlapis sarung sutra. Matanya tampak berbinar, entah rasa takut, khawatir atau bingung karena banyak orang yang mengelilinginya.
Dua orang wanita bergamis dan berjilbab memegangi tangan anak perempuan Ika yang mulai panik saat Sanro akan memulai ritual sunat.
Sanro di sini bukan dari kalangan medis. Bukan bidan, mantri, apalagi dokter. Dengan kata lain, Sanro adalah dukun, orang pintar yang memang memiliki kemampuan menyunat. Ilmu sunatnya pun didapat secara turun-temurun. Namun, Sanro umumnya seorang wanita.
"Tidak, mereka [Sanro] tidak ada lisensi kesehatan. Jadi yang sudah dipercaya saja oleh keluarga dan memang sudah biasa [menyunat perempuan]," kata dia.
"Setiap keluarga, kan, punya orang seperti Sanro yang dipercaya. Tapi Sanro bukan bagian dari keluarga."
Tangis anak itu makin menguat. Tapi perempuan-perempuan yang mendampingi tak patah arang. Anak perempuan itu 'dipaksa' ikut berkomat-kamit melafalkan dua kalimat syahadat yang diucapkan Sanro dengan keras.
"Nak ayo nak, bersyahadat, ikuti yang diucapkan Sanro." Suara seorang ibu menuntun anak perempuan yang kini berwajah panik itu. Air matanya nyaris keluar, rasa takut terlihat jelas di mukanya yang penuh make up.
Anak Ika yang berusia 4 dan 6 tahun itu kemudian sadar hal yang menyakitkan akan segera terjadi. Seketika, jeritan anak perempuan itu memenuhi ruangan. Namun, hal itu tak membuat Sanro berhenti melakukan ritual sunat.
Ika dan suaminya tampak saling berpegangan tangan di pintu kamar. Keduanya menyaksikan dari jarak yang agak jauh, takut tidak sanggup menahan pedih saat anaknya menjerit kesakitan.
Setelah anak pertamanya selesai disunat, Ika dan suami harus menghadapi kembali jeritan putri keduanya yang menangis.
"Sebenarnya saat anak menangis saya juga tidak tega, tapi memang ini harus dilakukan. Jadi saya percaya saja sama Sanro. Toh saya juga saat kecil disunat," ujarnya.
Setelah prosesi selesai, kedua putrinya pun diberi angpau dan kembali bermain, melanjutkan aktivitas mereka. Ika menyebut tak ada obat yang dioleskan ke bekas goresan luka tersebut.
Lagi pula kata Ika, pada dasarnya sunat yang dilakukan dalam tradisi makatte ini tidak berbahaya. Sunat dilakukan dengan memberikan sedikit goresan pada klitoris si anak dengan pisau, mengambil kotoran untuk kemudian disatukan dengan darah dari jengger ayam jago.
Tapi hingga kini, Ika juga tidak tahu apa maksud darah dari jengger ayam jago dengan goresan di kemaluan anak perempuannya.
"Karena tradisinya begitu, jadi berjalan seperti itu," kata dia.
Sunat perempuan memang telah menjadi bagian dari tradisi yang berkembang di Indonesia sejak lama. Karena ini pula, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tak memasukkan sunat perempuan ke dalam kategori tindakan medis yang harus diaturnya.
"Sunat [perempuan] itu merupakan satu tradisi yang secara budaya turun temurun yang mengacu pada keyakinan yang dianut kelompok tertentu, bukan tindakan medis," ujar Direktur Kesehatan Usia Produktif dan Lanjut Usia Perempuan, Kemenkes, Kartini Rustandi pada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu. Hal ini pula yang membuat Kemenkes tak melarang praktik sunat perempuan secara gamblang.
Meski tak dilarang, namun Kemenkes tidak merekomendasikan orang tua untuk menyunat anak perempuannya. Selain karena tidak memberikan manfaat apa pun, lanjut Kartini, sunat perempuan juga bisa memicu risiko kesehatan seperti bengkak, pendarahan, dan masalah jaringan parut.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri mendefinisikan praktik sunat perempuan atau female genital mutilation (FGM) sebagai prosedur menghilangkan sebagian area tertentu pada organ intim anak perempuan. Termasuk juga di antaranya menggores area klitoris yang banyak diterapkan pada praktik sunat perempuan di Indonesia.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
Adat, agama, dan kepercayaan agar tak jadi wanita sundal
Sunat perempuan atau makkatte merupakan ritual yang dilakukan suku Bugis.
Khitan atau sunat ini juga tidak dilakukan saat anak perempuan tersebut baru lahir melainkan di rentang usia 4-7 tahun .
Kata Ika, lazimnya memang seperti itu, agar anak sudah bisa baca tulis Al-Quran dan membaca dua kalimat syahadat.
Makkatte atau sunat perempuan menjadi identitas kultural masyarakat Bugis yang juga bagian dari agama yang dianutnya, Islam. Kata Ika, belum sempurna agama Islamnya jika anak perempuan belum disunat.
Bukan hanya soal itu, masyarakat setempat juga percaya kalau, ritual makkatte juga dilakukan agar perempuan tidak menjadi wanita nakal dan sundal saat dewasa.
"Ketika sudah bisa mengaji, sudah bisa mengikuti ucapan yang disampaikan Sanro boleh disunat, istilahnya kan biar tidak gatal kalau sudah besar," jelas Ika.
Makkatte, diyakini sebagai 'menyakiti' demi kesejahteraan anak perempuan
Tradisi makkatte tentu tak dilakukan sembarangan. Ada berbagai ritual yang harus dijalankan. Begitu juga yang dilakukan Ika dan keluarganya.
Sebelum kedua anaknya di-makkatte atau disunat, ada berbagai macam barang yang mesti dikumpulkan.
Kata Ika, semua yang tersedia memiliki pesan, makna dan doa. Jadi tradisi ini memang bukan tradisi sembarangan, melainkan doa-doa yang dipanjatkan untuk anak. Agar kelak ketika dewasa anak bisa hidup sejahtera, beriman, dan selalu berlimpah rezeki.
Benda-benda yang harus ada itu, mulai dari sarung sutra sebanyak tujuh lapis yang menjadi sarung adat masyarakat Bugis. Sarung ini tergolong jarang dan cukup sulit didapatkan.
"Tapi kalau sudah cari tidak ada, karena harganya juga lumayan mahal, bisa sebagian sarung biasa, sebagian sarung sutra," katanya.
Bukan soal harganya, tapi sarung ini juga punya maknanya sendiri. Sarung sutra melambangkan kelahiran kembali. Penyucian anak perempuan yang baru disunat, kain baru yang membawa anak pada dunia baru tempat dia berpijak kelak.
Selain sarung, ada juga baju bodo yang berjumlah tujuh helai. Jumlahnya tujuh helai, harus dipakai semua saat anak melakukan sunat. Baju ini tak memiliki filosofi khusus, tapi merupakan baju adat masyarakat Bugis. Sehingga sifatnya wajib dan harus ada.
Barang lain yang harus disiapkan adalah ayam jago kampung yang memiliki jengger tebal, beras ketan hitam dan putih, air bening di wadah, satu sisir pisang ambon, dua butir telur, dan gula merah.
Kemudian bantal yang dilapisi sajadah dan tujuh lapis sarung sutra. Bantal ini akan digunakan sebagai tempat anak disunat.
"Kalau gula merah itu filosofinya agar hidup yang dijalani selalu manis, untuk telur agar nantinya bisa memiliki keturunan ketika dewasa, dan makanan itu yang lain seperti pisang dan beras ketan untuk penarik rezeki," katanya.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
Makkatte yang dilakukan masyarakat bugis adalah satu dari sekian banyak praktik sunat perempuan di Indonesia. Beberapa daerah di Indonesia juga punya adat sunat perempuan. Di Gorontalo misalnya, tradisi khitan perempuan ini dikenal sebagai Mandi Lemon.
Sifatnya wajib, bahkan alat-alat yang digunakan juga cukup tradisional. Mulai dari bambu kuning, pisau atau sembilu, kunyit dan lainnya.
Mandi Lemon bagi masyarakat Gorontalo diyakini sebagai sesuatu yang sakral untuk 'membersihkan' perempuan. Tentu bukan hanya anak-anak yang boleh melakukan Mandi Lemon, mereka yang sudah dewasa dan tidak dikhitan saat bayi juga harus mengikuti adat ini.
Antropolog dari Universitas Indonesia, Irwan Hidayana yang memang kerap melakukan penelitian terkait tradisi sunat perempuan menyebut ada banyak unsur yang terkandung di dalam setiap prosesnya. Bukan hanya budaya, nyatanya sebagian masyarakat juga menganggapnya sebagai bagian dari titah agama, khususnya Islam.
"Jadi ada pencampuran, ada budaya atau tradisi dan agama, terutama Islam yang tidak bisa kita hilangkan begitu saja," kata Irwan saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (17/1).
Saat ini, sunat perempuan memang menjadi isu yang cukup sensitif. Memang jika dilihat secara medis, tak ada manfaat apapun yang didapat dari sunat perempuan. Sebaliknya, sunat perempuan di berbagai belahan dunia justru dilarang.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan, bahwa sunat perempuan itu dilarang karena menyebabkan berbagai bahaya kesehatan dan merenggut hak asasi wanita.
Meski demikian, larangan tersebut tak bisa serta merta bisa langsung diterapkan di Indonesia. Ada beberapa alasan utama terkait hal ini, terutama terkait definisi praktik sunat yang berbeda-beda.
Ada yang menyebutnya hanya menggores, menukil sedikit, bahkan ada yang bilang hanya mengambil selaput di klitoris dengan niat 'pembersihan,' sehingga diklaim aman dan tak menyebabkan bahaya kesehatan serta melanggar HAM seperti yang dimaksud WHO.
Bukan cuma praktiknya, kompleksitas dari praktik sunat juga membuat aturan atau larangan sunat masih terasa ambigu.
"Kompleksitasnya begini, masyarakat sebagian masih melihatnya sebagai sebuah tradisi. Tradisi itu juga dibalut agama. Bahkan masyarakat lain menyebut kalau sunat perempuan ini wajib, makanya tidak semudah itu untuk dilarang," kata dia.
Meski demikian, sulit menjabarkan kapan tradisi sunat perempuan ini mulai dilakukan masyarakat Indonesia. Ada orang yang meyakini kalau sunat terhadap perempuan mulai dilakukan saat Islam masuk. Tapi tak sedikit juga yang menyebut sunat telah dilakukan jauh sebelum masuknya Islam.
Kata Irwan, literatur atau penelitian terkait sunat perempuan ini memang belum lengkap. Pandangan berbeda dalam melihat tradisi ini membuat sunat perempuan tak bisa dikelompokkan hanya dari sisi agama, medis, atau sisi budaya saja.
"Karena semuanya ada. Dari budaya ada, yang meyakini ini tradisi ada, tapi yang meyakini tradisi berbalut agama juga ada. Sulit mengelompokkannya," kata dia.
Jika berbicara tentang budaya dan tradisi yang mengakar di masyarakat, menghapusnya bukan sesuatu yang mudah. Apalagi saat semua sudah dibungkus dengan embel-embel keyakinan dan agama yang dianut.
 Foto: CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani |
Dibungkus agama
Bagi Irwan, bicara soal sunat bukan hanya bicara manfaat medis, tapi harus melihat tradisi, kepercayaan leluhur dan bagaimana keyakinan masyarakat terhadap warisan-warisan leluhur mereka ini harus tetap berjalan.
"Itulah (sunat perempuan) menjadi isu yang tidak mudah, kalau memang mau dihapus saya pikir panjang jalannya, karena sebagian melihat dari aspek agama, sebagian tradisi, sebagian medis. Jadi ini memang bukan hal yang mudah," tuturnya.
Terlepas dari perdebatan sunat yang dianggap berbahaya dan tak memiliki manfaat apapun bagi perempuan, masyarakat tetap meyakini bahwa sunat harus dilakukan. Tradisi yang sudah mengakar turun-temurun, diyakini oleh satu orang tua, lalu diwariskan ke orang tua lainnya.
Sama halnya dengan Ika dan ibu-ibu lainnya. Bagi mereka, sunat sama wajibnya dengan berpuasa di bulan ramadan atau menyembelih kambing di perayaan Idul Adha.
"Tidak ada perempuan kami yang tidak sunat, lagi pula memang wajib sunat kalau di kami. Kami beri pengertian ke anak, bahwa ini harus dilakukan, demi masa depan mereka saat sudah dewasa dan pertanggungjawaban ke yang maha kuasa," kata dia.