Larangan memang tak bisa serta merta dilakukan. Pasalnya, sunat perempuan tak termasuk sebagai praktik medis, melainkan bagian dari tradisi.
Lagi pula, secara medis sunat perempuan benar-benar tidak memberikan manfaat. Alih-alih manfaat, justru sunat perempuan akan meninggalkan sejumlah risiko kesehatan.
"No benefit at all, just harm. Hanya kekerasan dan rasa sakit yang ditinggalkan," ujar dokter spesialis obstetri dan ginekologi di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) Jakarta, Muhammad Fadli.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan female genital mutilation (FGM) sebagai praktik menghilangkan sebagian atau seluruh bagian tertentu dari alat kelamin perempuan untuk alasan non-medis. Termasuk juga salah satunya menggores area klitoris perempuan, sebagaimana yang banyak dilakukan dalam praktik sunat perempuan di Indonesia.
Menurut Fadli, memotong klitoris yang ada di area genitalia perempuan adalah bentuk penyiksaan dan kekerasan yang cukup berbahaya.
"Efeknya banyak sekali, mulai dari pendarahan, infeksi di vagina, infeksi saat berkemih, bahkan ada juga yang mengalami syok hingga kematian," ujar Fadli.
Namun, berbagai risiko kesehatan itu tampaknya tak membuat praktik sunat perempuan ditinggalkan. Sejumlah masyarakat masih terus melanggengkan praktik tersebut hingga saat ini.
Berdasarkan catatan Riset Kesehatan Dasar 2013, sebesar 51,2 persen anak perempuan berusia 0-11 tahun pernah disunat. Sebanyak 81,3 persen sunat di antaranya dilakukan atas saran atau keinginan orang tua.
Meski dibalut perdebatan, Noviyana Gabi (37) tetap keukeuh untuk menyunat anak perempuannya pada 2018 lalu. Baginya, sunat perempuan telah menjadi tradisi turun temurun yang sah-sah saja jika dilakukan.
"Kan, sudah tradisi, dan Islam membolehkan [sunat perempuan]," ujar perempuan yang akrab disapa Novi ini pada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Novi percaya bahwa dengan sunat, kelak buah hatinya akan menjadi perempuan 'baik' dan setia pada pasangan.
"Takut libidonya [anaknya] nanti tinggi," ujar Novi. Sebagian masyarakat percaya bahwa sunat mencegah seorang perempuan dari kenakalan-kenakalan yang dianggap amoral di usia dewasa.
![]() |
Tak bisa dimungkiri, sunat perempuan memang sudah mengakar dan mendarah daging di sebagian masyarakat Indonesia. Keyakinan bahwa seorang perempuan harus disunat atas dasar agama Islam tentu tak bisa disingkirkan begitu saja.
Di beberapa daerah, sunat perempuan dianggap sebagai hal yang sakral. Bagi masyarakat Bugis, misalnya, sunat harus dilakukan sebagai bentuk kehormatan. Dalam tradisi yang dikenal dengan sebutan Makatte ini, anak perempuan yang sudah sunat, maka sudah resmi menjadi pemeluk Islam.
Merujuk hal tersebut, 'menghapus' tradisi sunat perempuan tentu bukan hal yang mudah. Apalagi, fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga selama ini tak pernah benar-benar melarang.
Dalam fatwanya, MUI hanya menyebut bahwa sunat tak boleh dilakukan jika menyakiti, tapi boleh dilakukan jika tak ada indikasi berbahaya.
Lihat Juga : |
Antropolog dari Universitas Indonesia, Irwan Hidayana mengatakan bahwa sunat perempuan menjadi isu yang cukup sensitif dan kompleks.
Satu sisi, secara medis diakui sunat pada perempuan tak memberikan manfaat apa pun atau bahkan bisa memicu risiko kesehatan. Namun di sisi lain, sunat perempuan juga tak bisa dilarang begitu saja.
Ada banyak unsur yang terkandung di dalam setiap prosesnya. Bukan hanya budaya, sebagian masyarakat juga menganggap sunat perempuan merupakan titah agama, khususnya Islam.
"Jadi ada pencampuran, ada budaya atau tradisi dan agama, terutama Islam, [yang] tidak bisa kita hilangkan begitu saja," kata Irwan.
Sunat perempuan, menurut Irwan, tak bisa hanya dilihat dari sisi medis. Lebih dari itu, sunat juga perlu dilihat sebagai tradisi, kepercayaan leluhur, dan bagaimana keyakinan masyarakat terhadap warisan-warisan ini agar tetap berjalan.
Sunat perempuan seolah berdiri kebingungan di antara berbagai kepentingan: medis, tradisi, dan agama. Menghilangkan praktik sunat perempuan, lanjut Irwan, memerlukan jalan yang panjang.
(asr)