Rabu Abu mengawali masa Prapaskah. Di hari ini dahi umat Katolik bakal diberi abu sebagai tanda tobat.
Kenapa menggunakan abu ya? Penggunaan abu tak sekadar seremonial belaka tetapi mengandung makna mendalam.
Abu yang digunakan dalam perayaan Rabu Abu berasal dari pembakaran daun palma dari perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya. Terdengar repot karena harus mengumpulkan daun-daun palma kering, dibakar lalu dihaluskan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam iman Katolik, abu sejalan dengan momen Prapaskah yakni masa pertobatan. Abu jadi tanda pertobatan kota Niniwe. Di Niniwe, Yunus mengumumkan kebinasaan kota itu dalam 40 hari. Kemudian orang Niniwe percaya pada Allah, lalu semua berpuasa dan mengenakan kain kabung.
"Setelah sampai kabar itu kepada raja kota Niniwe, turunlah ia dari singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu duduklah ia di abu." (Yunus 3:6)
Kemudian abu juga jadi pengingat bahwa manusia berasal dari debu. Ini tertulis dalam kitab Kejadian.
"Ketika itulah Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan napas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup." (Kej.2:7)
Oleh karenanya, pastor atau prodiakon yang menerimakan abu akan mengucapkan, "Bertobatlah dan percayalah pada Injil" atau "Ingatlah bahwa engkau adalah debu dan akan kembali menjadi debu."
Selain tanda pertobatan, Rabu Abu menandakan awal masa pantang dan puasa selama 40 hari sebelum Paskah. Angka 40 dianggap angka yang mewakili lama persiapan dan angka rohani.
Musa berpuasa 40 hari sebelum menerima Sepuluh Perintah Allah. Yesus berpuasa selama 40 hari 40 malam di padang gurun sebelum menjalankan tugas pewartaan.
Akan tetapi, aturan pantang dan puasa tidak mewajibkan umat benar-benar tidak memberikan tubuh asupan selama 40 hari lamanya. Pantang dan puasa wajib dijalankan di Rabu Abu dan Jumat Agung, sementara pantang wajib tiap Jumat selama jelang Paskah.
(els/chs)