Jakarta, CNN Indonesia --
Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap seks sebagai hal yang tabu untuk diperbincangkan.
Orang tua sering kali merasa canggung saat berbicara tentang pubertas dan dari mana bayi berasal kepada anaknya. Padahal, menghindari pertanyaan ini justru bisa lebih berbahaya.
Pasalnya, memberikan edukasi seks pada anak adalah hal yang sangat penting, apalagi di zaman kiwari anak hidup di era serba digital yang mana akses terhadap informasi yang tidak terbatas. Ada tahapan edukasi seks pada anak yang bisa diajarkan sesuai usia mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut psikolog klinis anak dan keluarga Anna Surti Ariani, edukasi seks yang tepat justru jauh lebih bermanfaat daripada orang tua menunda-nunda sehingga pada akhirnya mendapatkan berbagai macam kerugian, termasuk anak mengalami pelecehan seksual.
"Orang yang paling rentang mengalami adalah mereka yang tidak tahu. Jadi, ya justru perlu diedukasi supaya dia tahu dan bisa mencegah," ucap Anna saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (10/3).
Anak remaja yang tidak mendapatkan edukasi seksualitas yang benar, lanjut Anna, justru terbukti secara statistik melakukan hubungan seks jauh lebih awal dibandingkan dengan mereka yang mendapatkan edukasi seksualitas yang benar.
"Ya, itu satu fakta. Kalau dia diberi edukasi seksualitas yang benar, dia justru menunda hubungan seks pertamanya dibandingkan dengan anak yang enggak tahu apa-apa," katanya.
Pada dasarnya, tidak ada kata terlalu cepat untuk memulai edukasi seks pada anak. Anna mengatakan bahwa edukasi seks tidak selalu berupa pengajaran yang dilakukan di dalam kelas. Maka itu, orang tua bisa memaparkan anak dengan edukasi seks sejak dini, bahkan sejak anak masih bayi.
1. Usia Bayi
Sejak bayi, anak sudah perlu diajarkan untuk memahami sentuhan di area tubuh yang baik dan tidak baik yang dilakukan oleh orang lain.
"Pada usia bayi, yang perlu diperkenalkan adalah sentuhan-sentuhan seperti apa yang membuat nyaman seorang anak. Ketika yang dikenal oleh seorang anak itu adalah sentuhan-sentuhan yang menurut dia nyaman, maka kelak ketika dia sudah lebih besar, dia paham mana sentuhan yang dia enggak suka karena dia sudah merasa aman dengan kondisi tersebut," tutur Anna.
Selain itu, anak yang masih bayi juga perlu diberikan pemahaman nama-nama bagian tubuh, termasuk nama alat kelaminnya.
"Jadi pada saat bayi dimandikan atau digantikan baju, itu bisa sekaligus memberikan perkenalan tentang nama bagian tubuh. Misalnya, 'ibu sabuni dulu ya dadanya', 'sekarang vaginanya dibersihkan ya', atau 'abis buang air besar dibersihkan dulu ya anusnya'. Itu akan memberikan anak suatu pemahaman tentang nama bagian tubuh dan apa yang perlu dilakukan terhadap bagian tubuh tersebut," lanjutnya.
2. Usia 2-3 tahun
Menurut anak, ketika anak sudah mulai lancar berbicara, mereka perlu mulai diperkenalkan untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan positif seperti mengganti baju di ruangan tertutup. Selain itu, anak usia 2-3 tahun sudah harus mulai belajar untuk menghargai tubuhnya.
"Dengan mengajarkan mereka untuk ganti baju di dalam ruangan, itu adalah pembelajaran untuk mereka bisa menghargai tubuh dan badan mereka bukan untuk dikonsumsi sama orang lain," tutur Anna.
Selain itu, anak juga perlu dilatih untuk melaporkan kepada orang tuanya jika mereka mendapatkan sentuhan-sentuhan yang tidak mereka sukai dari orang lain. Hal ini akan membuat mereka memiliki keterampilan untuk melaporkan ke orang tua jika suatu ketika mereka mendapatkan tindakan pelecehan seksual.
3. Usia 5-6 tahun
Di usia 5-6 tahun, anak yang sudah lebih mandiri harus diajarkan untuk mandi sendiri dan membersihkan alat kelaminnya sendiri tanpa bantuan orang lain setelah buang air kecil atau besar.
"Hal ini harus diajarkan kepada anak secara intens saat usia 5-6 tahun. Mereka harus belajar sendiri untuk melakukanya. Kalau ada orang lain yang memaksa mereka untuk pegang dan sebagainya mereka harus bilang, atau teriak, atau lari keluar. Itu bisa jadi strategi untuk menyelamatkan diri yang bisa dilakukan oleh seorang anak," kata Anna lebih lanjut.
"Dengan dia lebih mandiri, dia tidak harus minta tolong orang lain sehingga mengurangi risiko mendapatkan pelecehan seksual dari orang lain," lanjutnya.
[Gambas:Photo CNN]
4. Usia 8-9 tahun
Pada saat anak berusia 8-9 tahun, orang tua sudah perlu mulai mengajarkan mereka tentang perbedaan jenis kelamin secara biologis. Misalnya, wanita bisa hamil, melahirkan, hingga menyusui.
"Di sini diajarkan juga tentang bagaimana menghormati sesama jenis maupun lawan jenis. Itu juga sebetulnya pembentukan kesadaran diri dan terkait dengan pendidikan seksualitas," kata Anna.
5. Usia Remaja
Anna mengatakan bahwa sejak anak berusia 10 tahun menuju usia remaja, mereka sudah harus mulai diberikan pembelajaran mengenai pubertas.
Misalnya, ketika anak perempuan mengalami menstruasi, orang tua perlu memberikan pemahaman mengenai apa yang terjadi, apa yang tidak wajar terjadi, apa yang perlu dilakukan untuk membersihkan diri dan sebagainya. Sementara, anak laki-laki perlu diajarkan bahwa mereka akan mendapatkan mimpi basah.
"Terkait apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan contohnya kalau anak laki-laki mendapatkan teman perempuannya ternyata menstruasi dan bocor, ajarkan apa yang bisa dia bantu supaya si anak perempuan itu tidak malu," ucap Anna.
Untuk mencegah terjadinya kekerasan berbasis gender online (KBGO), menurut Anna, anak perlu diajarkan untuk tidak bertelanjang di depan kamera, atau hal-hal lain yang dapat merugikan mereka dan juga merugikan orang lain.
6. Usia Dewasa
Di usia dewasa, seorang anak sudah perlu belajar mengenai hubungan seksualitas yang sehat dalam perkawinan dan untung rugi ketika kawin muda.
"Misalnya bahwa berhubungan seks itu perlu izin dari kedua belah pihak. Lalu bagaimana hubungan seksual yang sehat, yang baik, yang saling menghormati, termasuk gangguan-gangguan dalam masalah seksualitas yang akan perlu diatasi," ucap Anna.