Devie mengatakan, berkembangnya tren thrifting tak terlepas dari lima unsur utama. Berikut di antaranya.
Krisis keuangan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. Salah satunya bisa jadi disebabkan juga oleh pandemi Covid-19 yang berdampak terhadap daya beli.
Keuangan merosok, tapi kebutuhan sandang tak berkurang. Akhirnya, banyak orang yang beralih ke pasar loak atau thrifting demi memenuhi kebutuhan mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kesadaran masyarakan zaman kiwari akan lingkungan juga turut berperan membuat tren thrifting kian menjamur. Misalnya, isu mengenai limbah tekstil yang menjadi salah satu penyumbang sampah terbesar di dunia.
Pemikian menumpung sampah tekstil dari baju-baju tak terpakai yang pelan-pelan bisa menghancurkan Bumi tanpa disadari membuat pasar thrifting maju pesat.
"Orang-orang sadar, kalau terus beli baju [baru], sampahnya makin banyak. Makanya, ya udah, beli yang bekas saja. Jadi, tidak menumpuk masalah sampah baru," ujar Devie.
Bukan rahasia lagi, baju-baju yang dijual di pasar thrifting selalu punya nilainya sendiri. Biasanya, baju-baju yang dijual bersifat limited edition. Jarang ada baju yang sama tersedia dalam jumlah lebih dari satu potong.
"Kalau di pasar loak hanya ada satu, entah ada di mana lagi kembarannya. Makanya terasa unik," kata dia.
Selain itu, kini juga banyak baju-baju bekas nan langka yang dijual di pasar thrifting.
Content creator juga turut berpengaruh. Salah satunya dengan cara mempromosikan kegiatan belanja barang bekas melalui akun media sosial.
"Akhirnya orang tertarik dan kemudian mencobanya. Oh ternyata murah, oh ternyata bagus. Jadi-lah budaya ini makin digemari banyak orang," kata dia.
Eksistensi jadi kebutuhan muda-mudi di zaman kiwari. Kebutuhan akan eksistensi ini pula-lah yang membuat budaya thrifting kian diminati.
Dengan thrifting, mereka bisa terlihat keren tampil dengan baju-baju unik tanpa perlu merogoh kocek dalam-dalam.